Before Everything Blows Up

Adeline Nordica
Chapter #4

Fire

"Some flames burn to warm you. Others burn to reveal what you wish had stayed hidden."

Udara pagi menusuk tulang, dingin dan lembap, membawa aroma tanah basah bercampur dengan sisa asap kayu yang masih melekat pada dinding kabin tua di tepi danau itu.

Kabin itu sendiri berdiri seperti saksi bisu. Cat kayu di dindingnya sudah mengelupas, meninggalkan guratan rapuh yang mengingatkan pada kulit yang terbakar sinar matahari terlalu lama. Kusen jendelanya berembun, meneteskan titik-titik air kecil yang jatuh ke lantai papan. Setiap sudut bangunan itu seolah menyimpan rahasia. Bukan sekadar cerita masa lalu, tapi rahasia yang bernafas, menunggu waktu untuk keluar.

Ivy duduk di beranda, membungkus dirinya dengan selimut wol kelabu. Bahannya kasar, tapi cukup hangat untuk menahan sebagian gigil yang merayap dari lantai kayu dingin ke telapak kakinya. Cangkir teh chamomile mengepul di genggamannya. Aromanya lembut, harusnya menenangkan, namun bukannya memberi ketenteraman, justru membuat pikirannya semakin kacau.

Ia menatap ke danau, tapi pandangan itu kosong. Yang terus berulang di kepalanya bukanlah pantulan air yang bergoyang, melainkan percakapan semalam.

Api kecil di perapian telah menyulut sesuatu yang berbeda dari sekadar hangat. Bara yang dibawa bukan berasal dari kayu yang terbakar, melainkan dari kata-kata. Kata-kata yang nyaris seperti pengakuan, namun tidak pernah benar-benar selesai. Pandangan Row malam itu begitu intens, nyaris menelannya bulat-bulat. Tidak menyentuh, tapi menghanguskan.

Ivy masih bisa mendengar suaranya sendiri semalam.

"Kau menyimpan sesuatu," ucapnya, lirih, hampir tenggelam oleh denting kayu yang retak saat terbakar.

Row tidak menjawab segera. Ia hanya menatap, lama, matanya gelap, penuh rahasia. Seolah sedang menghitung berapa banyak kebenaran yang bisa ia tahan sebelum dirinya sendiri meledak.

Akhirnya, dengan nada datar tapi menyalakan bara di antara mereka, ia berkata, "Semua orang menyimpan sesuatu."

Kalimat itu kini bergema lagi, namun pagi ini gema itu tidak datang sendirian.

Ivy menoleh ke kaca jendela kabin, dan tubuhnya menegang. Di permukaan berembun itu, sebuah simbol tergores jelas: lingkaran dengan tiga garis silang di dalamnya.

Itu bukan pola acak. Bukan dari jari, bukan dari embun. Bentuknya terlalu rapi, terlalu dalam, seperti diukir dengan sesuatu yang tajam dari dalam kaca itu sendiri.

Darahnya mengalir dingin. Ia bangkit, langkahnya pelan tapi tegang, lalu menyentuh kaca itu dengan ujung jarinya. Permukaannya beku. Licin. Seolah masih bergetar, seperti hidup. Nafas Ivy tercekat.

Simbol itu.

Simbol yang sama, yang menghantuinya sejak kecil.

Dan seketika, ingatan yang ia tekan bertahun-tahun menyeruak tanpa ampun. Rumah lamanya. Api yang melahap dinding kayu. Asap yang menebal, menusuk paru-parunya. Suara jeritan kembarannya yang terjebak di balik kobaran api. Ivy kecil berdiri membeku, tubuhnya kaku, tak mampu bergerak. Dan di sela asap, ia melihat simbol itu muncul samar di kaca jendela, sebelum semuanya runtuh dan menjadi abu.

Lihat selengkapnya