Before Everything Blows Up

Adeline Nordica
Chapter #5

Ashes

"What lingers after the fire is not silence, but whispers of what it has devoured."

Malam turun cepat, membawa dingin yang berbeda dari biasanya. Hutan di sekitar kabin seperti menutup rapat rahasianya. Angin berdesir melalui celah-celah kayu tua, membawa aroma lembap bercampur abu tipis dari perapian yang baru saja padam. Kabin itu sendiri berdiri seperti saksi bisu, menyimpan terlalu banyak hal yang tak terucap.

Ivy duduk kaku di kursi tua dekat jendela. Ia menatap ke arah perapian yang baru saja Row hidupkan. Api itu menyala dengan gelisah, seolah menolak untuk stabil. Lidah apinya menjilat kayu, menciptakan bayangan yang menari liar di dinding kabin. Bayangan itu seperti wajah-wajah, bergerak, berganti-ganti, mengintip lalu menghilang.

Ia memeluk dirinya sendiri lebih erat dengan selimut wol, mencoba menahan gemetar yang tidak lagi ia tahu berasal dari dingin atau dari sesuatu yang jauh lebih dalam.

Row duduk tak jauh darinya, menunduk. Tatapannya menempel pada nyala api, tapi Ivy tahu, pikirannya melayang entah ke mana.

Suara retakan dari bawah lantai terdengar lagi. Lebih dalam. Lebih berat.

Ivy menelan ludah. "Row, ada apa di bawah sana?"

Row menoleh perlahan. Wajahnya tetap datar, tapi matanya memancarkan sesuatu yang tidak bisa Ivy abaikan. "Jangan tanyakan itu, Ivy."

"Kenapa tidak?" suaranya meninggi, bercampur panik. "Aku punya hak untuk tahu! Kau membawaku ke tempat ini. Kau yang bilang aku harus datang. Sekarang simbol-simbol itu muncul lagi, dan....

Row tiba-tiba berdiri, membuat kursinya bergeser keras di lantai kayu. Suara itu menggelegar di tengah hening, membuat Ivy terdiam.

Row menatapnya, tajam. "Tidak semua yang ada di bawah sini pantas kau dengar. Ada hal-hal yang ketika dibangunkan, tidak pernah mau tidur lagi."

Ivy mundur selangkah, tapi pandangannya justru terikat pada tatapan Row. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar ancaman di sana. Ada… peringatan.

Namun simbol itu. Simbol yang terus menghantuinya. Lingkaran dengan tiga garis silang. Ia sudah cukup lama berusaha mengubur semua kenangan tentang itu. Tentang rumah yang terbakar. Tentang kembarannya yang hilang ditelan api. Tentang jeritan yang masih membekas sampai sekarang. Tapi kini simbol itu kembali, seakan api masa lalu ikut menyalakan dirinya lagi.

Ivy mengatur napas, lalu bersuara lebih pelan. "Row, aku melihatnya. Di jendela. Di lantai. Kau tahu sesuatu tentang simbol itu, bukan?"

Row terdiam cukup lama hingga Ivy hampir menyerah menunggu jawabannya. Akhirnya, dengan suara rendah, ia berkata, "Simbol itu bukan hanya tanda. Itu adalah panggilan. Sisa dari sesuatu yang sudah diambil oleh api."

Kata-kata itu menusuk Ivy. "Kembaranku?" suaranya pecah, lirih.

Row tidak menjawab. Tapi diamnya justru lebih keras dari jawaban apa pun.

Air mata Ivy mulai menggenang. "Aku melihatnya terbakar, Row. Aku berdiri di luar, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan sebelum semua runtuh… aku melihat simbol itu di jendela. Sama persis. Apa maksudnya? Kenapa muncul lagi di sini?"

Row akhirnya mendekat. Ia berlutut di depan Ivy, jarak wajah mereka hanya beberapa inci. Tangannya terulur, menyentuh jemari Ivy yang dingin. "Karena api tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu. Dan sekarang… ia memilihmu."

Ivy menahan napas, merasakan hangat tangan Row menembus dingin tubuhnya. Detak jantungnya tiba-tiba lebih cepat, bukan hanya karena takut, ada sesuatu yang lain, samar tapi nyata, yang membuat dadanya sesak. Tatapan Row menahan diri, nyaris ingin lebih dekat, hampir saja bibir mereka bersentuhan, tapi ia menahan langkah itu. Napasnya berat, matanya menahan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ivy menunduk sebentar, merasakan denyut jantungnya sendiri, sadar akan kedekatan mereka. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara, intim namun tetap terkendali. Kedua tubuh mereka masih dipisahkan oleh jarak tipis, namun dalam keheningan itu, kedekatan itu terasa begitu nyata, menggetarkan, membingungkan, dan sama sekali tidak bisa diabaikan.

Lihat selengkapnya