Bayangan ketiga tidak selalu datang untuk menakutimu. Kadang ia hanya ingin duduk, menunggu, sampai kau sadar ia sudah ada sejak awal.
Malam itu mereka tidak jadi membuka papan lantai lebih jauh.
Row menutupnya kembali dengan gerakan cepat, seolah menolak memberi ruang pada sesuatu yang berusaha keluar dari bawah sana. Ivy sempat ingin bertanya, tapi tatapan Row membuat kata-kata membeku di tenggorokannya.
Bisikan itu masih terngiang di telinga, seperti gema yang menolak padam. Tapi keduanya sepakat diam, membiarkan papan kayu kembali menjadi lantai biasa, setidaknya untuk sementara.
Api di perapian meredup, menyisakan bara merah yang sesekali berdesis. Kabin itu semakin dingin, meski Ivy menarik selimut wol lebih erat ke tubuhnya. Dia berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke hutan yang perlahan diselimuti gelap. Senja di pegunungan selalu turun cepat, seolah matahari pun enggan berlama-lama di tempat ini.
Row duduk di kursi goyang tua, tubuhnya condong ke depan, tangan saling meremas di antara lutut. Dari sudut matanya, Ivy bisa melihat luka tipis di wajahnya yang masih merah samar. Luka itu seolah memiliki bahasa sendiri, berteriak tentang sesuatu yang tidak mau Row katakan.
“Kau tidak cerita darimana kau mendapatkannya,” suara Ivy akhirnya pecah, lembut tapi menusuk.
Row mengangkat wajahnya, menatapnya lama. “Bukan sesuatu yang penting.”
“Kalau tidak penting, kenapa kau sembunyikan?” Ivy mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara di lantai kayu yang dingin. Dia berhenti tepat di depannya, lalu berjongkok, memaksa mata mereka sejajar. Tangannya terulur, jari-jarinya hampir menyentuh luka itu. Row menahan napas, tapi tidak menghindar.
Sentuhan Ivy hanya sebentar, tapi cukup membuat udara di kabin berubah tegang. Ada semacam aliran panas yang melintas di antara mereka, bukan hanya dari luka itu, tapi dari sesuatu yang lebih dalam.
Row memejamkan mata sejenak. “Kau tidak ingin tahu, Ivy.”
“Aku ingin,” bisiknya. “Karena kalau tidak, aku hanya akan membayangkan yang lebih buruk.”
Keheningan menggantung. Suara kayu berderit di tungku, dan di luar jendela, seekor burung gagak berteriak sekali sebelum lenyap. Ivy menatap Row, mencari celah di balik dinginnya tatapan itu.
Row tiba-tiba bergerak, menangkap pergelangan tangannya. Tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan Ivy. “Berhentilah.”
Tapi tatapannya justru gemetar, penuh hal-hal yang tak terucapkan. Dan Ivy merasakannya. Ada sesuatu dalam diri Row yang nyaris pecah, sesuatu yang ia tahan mati-matian.
“Izinkan aku masuk, Row,” suara Ivy hampir serupa doa. “Jangan biarkan aku hanya menebak-nebak.”
Row tidak menjawab. Dia hanya menunduk, masih menggenggam tangan Ivy, seolah genggaman itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya dari runtuh sepenuhnya.
Udara di kabin semakin berat, dan untuk sesaat Ivy merasa, bukan hanya mereka berdua yang ada di dalam sana. Ada sesuatu yang mengintip, dari sela-sela gelap di sudut ruangan.
Perlahan, kursi kayu di pojok yang tak pernah dipakai berderit sendiri, seolah ada beban tak kasatmata duduk di sana. Ivy menoleh, jantungnya melonjak. Row pun mendongak, tatapannya tajam menembus kegelapan.