Bayangan bukan hanya tentang apa yang tampak. Ia adalah bagian dari dirimu yang tidak bisa kau tolak, sekalipun kau ingin.
Malam menutup gerbang pegunungan lebih cepat daripada yang Ivy ingat sebelumnya. Setelah mereka menutup kembali papan lantai di kamar itu. Sebuah keputusan yang diambil di ambang keputusasaan dan ketakutan. Bisikan dari bawah seolah tidak mau pergi. Ia tetap menempel di telinganya seperti abu halus yang menolak disapu. Mereka memilih diam, menutup luka kayu itu untuk sementara; namun di dadanya, sesuatu tetap menekan, menuntut jawaban.
Di sudut ranjang kayu, Ivy duduk meringkuk. Selimut wol serasa berat dan tipis sekaligus pelindung yang tak cukup menahan hawa dingin yang meresap bukan hanya dari luar, tapi dari dalam. Di dinding, bayangan-bayangan menari liar mengikuti sisa-sisa nyala api; satu, dua, tiga ...tiga bayangan yang sejak tadi malam mengganggu ketentramannya. Yang ketiga terasa berbeda: lebih besar, seperti menatap bukan hanya ke arahnya, tapi ke arah sesuatu yang ada di dalam dirinya.
Hatiku berdetak, pikir Ivy. Bukan karena takut saja. Ada rasa lain yang tak mudah diurai: cemas, rindu, dan marah sekaligus. Rindu pada jawaban yang tak pernah utuh; marah pada hal-hal yang disembunyikan darinya; cemas karena ada yang menoleh ke dalam rahasianya.
Row masih duduk di kursi goyang, punggungnya membungkuk sedikit, namun tidak sepenuhnya menyerah pada kelelahan. Wajahnya tertutup bayangan, dan luka tipis di pipinya masih terlihat merah samar—bekas sesuatu yang belum ia ungkapkan. Ivy mengingat bagaimana tangannya nyaris menyentuh luka itu tadi; bagaimana dengung aneh terasa di antara mereka ketika jari-jarinya menyentuh kulitnya. Ada keintiman yang tiba-tiba terasa berbahaya.
Ia menatap Row. Kata-kata mengumpul di tenggorokannya, tapi setiap kali akan keluar, ada sesuatu yang menghadang. Bukan karena Row tidak memberi ruang, melainkan karena ruang itu sendiri terasa rapuh, seperti kaca tipis yang bisa pecah kapan saja.
“Apa yang akan kita lakukan dengan bisikan itu?” Ivy bertanya akhirnya, suaranya serak.
Row mengangkat kepala pelan, menatapnya lama sebelum menjawab. “Kita hidup dengannya untuk sekarang,” katanya tenang. “Nanti kita putuskan kapan membuka lagi.”
Jawaban itu seharusnya menenangkan. Namun yang Ivy dengar bukan ketegasan, melainkan keletihan yang disamarkan. Keraguan yang merah di balik nada datar.
Di sudut ruangan, pria asing itu masih terbaring di kursi, napasnya berirama tidak teratur. Mantelnya tergantung di sandaran; di pergelangan tangannya, bekas simbol lingkaran dengan tiga garis memegang perhatian Ivy seperti luka lama yang tak boleh diingat. Ia tidak bisa mengusir perasaan deja vu: simbol itu muncul berkali-kali di ingatannya, di jendela rumah lama, di kaca yang retak semasa api melahap semuanya. Setiap kali ia melihatnya sekarang, ingatan lama menganga.
Pria asing itu mengerutkan alis, lalu bergumam sesuatu yang tidak jelas. Sekilas, Ivy menangkap kata-kata: “api… mengingatkan…” lalu ia tertidur lagi, menguap seperti orang yang memegang rahasia yang tidak ingin diungkap.
Ivy menutup mata. Gambar masa kecilnya kembali: rumah yang rubuh, asap yang membelit, dan teriakan yang belum pernah berhenti. Gambar itu datang bukan dalam barisan lengkap, melainkan serpihan suara tawa, tangan kecil yang menggenggam erat, cahaya yang berubah menjadi merah. Ia selalu berusaha mengunci potongan-potongan itu jauh di dalam, tapi simbol itu menambalnya kembali, merajut luka menjadi bentuk lain yang bisa memanggilnya.
Ada momen di mana ia bertanya pada dirinya sendiri apakah apa yang ia lihat nyata. Mungkin semua ini ilusi dari lelah, pikirnya. Atau mungkin pikiranku yang salah merangkai ingatan. Tetapi ada satu kepastian: sesuatu sedang memperhatikanku, dan aku tidak suka.
Ivy menoleh ke jendela. Kaca itu memantulkan wajahnya sendiri, samar, namun jelas cukup untuk membuatnya bergidik. Dalam pantulan, di belakang bayangannya sendiri, ia menangkap sosok samar. Row berdiri di ambang, menatap ke arah yang tak sama dengannya. Ada intensitas di sana yang sulit ia tafsirkan. Bukan sekadar perhatian. Lebih seperti seseorang yang menunggu satu jawaban yang belum diberi.