Before I fall in love

J U N E
Chapter #3

Terima Kasih, Tuan. Kau Menghancurkanku Dengan Baik

Arista Hermanto

 Dan kini, dia duduk tepat di hadapanku, dengan tenangnya menikmati secangkir ekspresso. Wajah yang terlihat naif ini, selalu membuat kesan baik dan menyenangkan. Sikap santainya, dan senyum ramahnya, berhasil menjerat siapapun yang menemukannya, bahwa dia adalah laki-laki yang baik dan penuh kelembutan.

Aku tersenyum singgung untuk diriku, ternyata, penampilan memang menipu.

Setelah aku meminta hubungan ini berakhir, dia memberikan aku waktu untuk berpikir, tentu setelah bertengkaran Panjang yang melelahkan, dia mengalah untuk memberikanku waktu. Walaupun, tidak benar-benar memberikanku waktu, ada saja pesan yang masuk darinya. Menanyakan hal-hal yang tidak penting dan mengganggu. Seperti, sudah makan?

Setelah beberapa hari, setelah memikirkan banyak hal tentang hubungan kami, tentang perasaanku padanya. Kami bertemu, aku memilih di jam makan siang, bertemu di coffee shop dekat kantor. Alasannya sederhana, agar aku tidak punya alasan berlama-lama dengannya, karena satu sisi dalam diriku, aku sudah muak dengannya.

 “Jadi, kamu sudah memutuskan?” tanyanya menatapku dengan senyum kecil ramahnya, lalu menyimpan kembali cangkir ekspreso di cofffe table kayu ini.

Pelan, aku menganggukan kepala, tidak mampu, melihatnya secara penuh. Aku takut, takut akan jatuh kembali ke dalam dirinya, dan aku akan kembali, kehilangan diriku.

“Jadi?” Suaranya kini terdengar penuh harap, menatapku masih dengan cara yang sama. Tapi kali ini, aku tidak akan lagi terjebak dengan segala buainnya.

Cinta, memang tidak pernah cukup untuk kami. Sudah berkali-kali, cinta yang ini, menyakitiku dengan cara yang begitu elegan. Tidak ada perselingkuhan. Tidak membuat luka di sekujur tubuhku. Tapi, berhasil memporak-porandakan diriku, menghancurkan duniaku, merusak jiwaku.

“Aku … “ sejenak aku terdiam, berdehem untuk mengisi udara pada tenggorakanku yang terasa tercekik. “Aku engga bisa lagi mengikuti aturan dan kemauan kamu, aku tidak akan pernah mampu, menjadi seseorang yang kamu rangkai dengan baik.” Aku mengeluarkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk mengutarakan ini dengan selantang mungkin.

Dia sesaat melongo mendengar ungkapanku, lalu tertawa remeh. “Yang aku rangkai? Apa maksud kamu? Aku hanya membuat kamu menjadi lebih baik, karena selama ini, yang kulihat kamu begitu kacau berantakan. Engga kayak perempuan pada umumnya. Sangat keras kepala.”

Sakit.

Sebisa mungkin, aku merasa segala rasa sakit yang teramat dalam diri.

“Maka karena itu, aku mempermudah langkah kamu, untuk melepaskanku.”

Ia menyeringai dengan sempurna. “Kamu sama sekali engga bersyukur, ya?! Kalau bukan aku yang mau sama kamu yang kacau ini. Siapa lagi?!”

Sejenak aku tertunduk, mengatur segala emosi dalam diri, ucapannya selalu berhasil mengoyak-ngoyak diriku.

“Aku, sudah tidak peduli, apa ada lagi seseorang yang menerimaku setelah kamu. Aku, lebih baik sendiri, daripada bertemu dengan laki-laki seperti kamu lagi.” Aku menatapnya dengan yakin, menahan napas. “Jadi, ini permintaanku, mari kita selesaikan hubungan ini dengan baik. Aku melepaskan kamu, untuk kamu menemukan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Perempuan yang tidak sekacau aku, perempuan yang sepenuhnya bersedia tunduk sama kamu tanpa perlawan apapun sepertiku.”

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah merendahkan diriku serendah mungkin, untuk melepaskan segala jerat yang mengekang. Anggap aja, ini terakhir kalinya aku mengalah, daripada harus seumur hidup merendah padanya. 

“Kamu selalu pintar berbicara, Arista!” singgungnya. “Seharusnya, aku tahu, kamu akan memilih meninggalkan hubungan ini. Kamu, sampai titik terakhir pun, tetap menjadi seorang Arista yang berpendirian tangguh.” Ungkapnya tersenyum singgung, menyenderkan punggungnya pada punggung kursi kayu, pasrah.

“Anehnya. Karena ketangguhan kamu, aku jatuh cinta sama kamu. Atau mungkin, aku hanya penasaran, apakah aku mampu merobohkan benteng pertahanan dalam diri kamu?! Dan ternyata, tidak sesulit yang aku bayangkan.” Senyumnya puas, dia mempertahankan harga dirinya dengan begitu baik.

“Benar kalau ada yang bilang, buatlah perempuan yang hidup tanpa ayah jatuh cinta, karena dia akan memberikan seluruh dunianya untukmu.” Rizal menghela napas Panjang, menatapku penuh dengan kepuasan.

Ucapan sinis dan dinginnya, membuat kemarahan menyergap dalam diri dengan baik. Aku mengeratkan kedua telapak tangan, menahan segala kemarahan dalam diri.

“Tapi ya sudahlha, aku selama ini, hanya berusaha memperbaiki kamu. Nyatanya, kamu sama sekali tidak menghargai itu, dan tetap memilih hidup dalam kekacauan.” Lanjutnya dengan santai.

Aku memilih diam.

Rizal beranjak dari duduknya. “Aku penuhin permintaan kamu. Semoga hidupmu lebih baik.”

Lihat selengkapnya