Before I fall in love

J U N E
Chapter #9

Chapter Delapan

Arista Hermanto

Kereta api dari Bandung menuju Jogyakarta menempuh perjalanan 7 jam, aku memilih kereta malam, karena tidak mau menghabiskan waktu diperjalanan. Aku memilih tidur di dalam kereta, daripada menghabiskan hari di dalam kereta.

Sepanjang perjalanan dengan deru lajunya yang begitu cepat, bukannya tertidur dalam redupnya lampu Lorong kereta. Aku malah terjaga. Merenung menatap keluar jendela, hanya gelapnya malam yang terlihat, entah ada apa di luar sana.

Perasaan asing menyeruap dalam diri. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku duduk sendiri dalam kereta, pergi sejauh 296 kilometer dari Bandung.

Ada, sedikit rasa cemas dan juga takut.

Tapi, ada juga rasa semangat, rasa tidak sabar apa yang akan kulalui sesampainya di Yogyakarta.

Memori masa kecil, terekam amat jelas dalam diri. Memori saat pertama kali aku berjumpa dengan ayah, rasa yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Dan sayangnya, yang melekat adalah kesakitan dan kesedihan yang bersemayam dengan baik dalam diri.

Perasaan kesakitan dan kesedihan inilah yang membuatku selalu merasa terancam saat berada dalam hubungan. Merasa, suatu saat nanti, aku akan ditinggalkan. Merasa aku tidak layak untuk dicintai dan disayangi. Aku selalu butuh pengakuan lebih dari apa yang sudah diberikan. Karena, alasan-alasan inilah, aku bertahan pada sosok Rizal, yang memberikan sebanyak-banyakanya bentuk cinta dan kasih sayang, aku menjadi pusat dunianya, dan sebaliknya. Yang aku pikir, itu adalah bentuk cinta yang paling baik. Hingga membuatku, tak mampu melepaskan sekalipun diri sudah banyak tergores luka. Hingga, aku memberanikan diri untuk keluar dari jerat dirinya.

Pernah, aku terperangkap pada pikiranku sendiri akan dirinya. Seperti, Tidak akan ada lagi yang mencintaiku seperti dirinya. Kalau bukan dengan dia, lalu aku bersama siapa? Apa ada seseorang yang akan menerima secara utuh seperti dirinya? Pikiran-pikiran itulah yang mensabotase diriku pada kemalaratan. Gelap mata pada cinta yang semu. Sampai lupa, bagaimana aku sendiri membutuhkan cinta itu sendiri.

Sampai akhirnya, aku berada pada titik darah penghabisan. Rasa cinta dan sayang yang dipupuk baik-baik, terguras habis oleh ketidakberhargaan. Diremehkan. Direndahkan hingga berhasil menghancur lemburkan kepercayaan diriku yang memang sudah ringkih. Digantikan dengan kelelahan, kehampaan, dan kekosongan yang membuat diri berada di ujung pengharapan.

Berat.

Bertarung dengan pikiranku sendiri, harga diri dipertaruhkan, membuatku tidak sama lagi memandang cinta.

Satu tahuh ini, aku merenungkan diri. Mencoba mengumpulkan potongan-potongan diri yang berserakan. Kembali, membangun kepercayaan diri yang porak poranda. Kembali, menyembuhkan diri yang lukanya semakin bertambah. Dan aku sadar, lukaku adalah tanggung jawabku, karena inilah aku memilih tidak membawa orang lain ikut serta dalam hidupku yang tengah goyah ini.

Diri tidak baik-baik saja, dan bekerja adalah caraku mengalihkan segala emosi yang menyedihkan dalam diri. Bersenang-senang, selalu menjadi pilihan dangkal atas pelarian dari kepenatan hidup yang nyatanya, tidak selesai.

Sejenak, diam, tanpa berpikir apapun. Melihat, seseorang yang duduk di sampingku. Seorang Perempuan, menggunakan hijab syar’i modern. Kulit sawo matang dengan wajah lembut yang manis. Sepertinya, seorang mahasiswa atau pekerja remote. Dia membawa ransel yang tersimpan di bawah kakinya, sebelum ini, dia membuka laptopnya seperti Tengah mengerjakan sesuatu.

Dia Tengah menikmati sebuah film dari smartphonenya, mendengarkan suara dari smartphonenya menggunakan earphone. Sesekali tersenyum menikmati film yang Tengah ditontonnya. Kapan terakhir aku mampu menikmati hal-hal sederhana seperti dirinya? Bahagia dengan cara paling sederhana.

*

Udara panas menyengat menyapa saat aku turun dari kereta, tepat jam 2 siang, aku sampai. Stasiun Tugu begitu ramai dengan para pendatang, entah yang pulang. Beberapa turis asing di antara kami yang berekruman berjalan menyelusuri staisun untuk menuju pintu keluar.

 Di antara kami, ada yang bergegas menuju pintu keluar, ada juga yang berjalan santai seperti aku, dengan tas ransel di punggung, dan koper berukuran medium yang aku dorong dengan tangan ini. 

Sesampainya di pintu keluar yang begitu ramai dan padat, aku menghampiri ruang tunggu. Ruang tunggu yang juga menjadi tempat perhentian penjemputan. Tempat yang startegis untuk menunggu.

Aku mengambil ponsel dari tas ransel ini, ada panggilana tak terjawab, nomor asing. Sepertinya ini teman Bimo yang akan menjemputku.

Sebelumnya, Bimo merekomendasikan hostel untuk menjadi tempat aku menginap, dan ya aku menyetujuinya. Aku tidak mau direpotkan untuk urusan penginapan.

Ada pesan wasap yang masuk, dengan nomor yang sama. Yup, benar, dia temannya Bimo. Memberitahuku, bahwa dia sudah sampai di staisun. Dan menanyakan posisiku, aku langsung membalas, memberitahu di mana aku berdiri sekarang.

Pesan terbaca, aku menunggu sambil mengirimkan pesan pada Ibu, bahwa aku sudah sampai dan sedang menunggu jemputan.

Jogya, panas bukan main, 31 drajat. Aku merasakan keringat mengalir di balik kaos big size yang kupakai, rambut yang sudah kupotong pendek hingga menggantung seleher pun masih terasa gerah di kepala-Sebelum kemari, aku memangkas rambut hingga pangkal leher, buang sial ceritanya.

“Mba Arista?” seseorang menyapaku, membuatku langsung menoleh padanya.

Seorang laki-laki kurus dengan rambut ikal pendek acaknya, tersenyum manis menatapku dengan binaran di kedua matanya yang bulat.

“Di fotonya sih sama. Benar kan Mba Arista?!” tanyanya memastikan, senyumnya canggung, logat jawa yang kental.

“Ah, iya. Saya, Arista.” Aku membalikan tubuhku padanya. “Masnya siapa ya?”

Laki-laki yang memakai jaket dengan kaos merah di baliknya, langsung menyimpan ponsel di saku celana pendeknya.

“Saya, Idan, Mba. Yang di minta jemput Mba Arista ke sini.” Ramahnya dengan nada suara yang rendah, menyodorkan telapak tangannya padaku.

“O okay. Saya, Arista.” Aku menyambut tangannya, tersenyum ramah padanya, berjabat tangan.

Katanya, mereka yang tinggal dan hidup di sini adalah orang-orang yang ramah dan juga hangat, tahu sekali bagaimana menyambut para pendatang. Dan, ini yang kurasakan saat bertemu dengan Idan. Seorang pemuda, berkulit coklat dengan rambut ikal yang acak, wajah manis dengan jerawat-jerawta kecil di kulit wajahnya. Namun, memiliki senyum yang hangat dengan sorot mata yang berbinar.

*

“Ini pertama kalinya Mbak Aris ke Jogya?” tanya Idan, memecah keheningan kami setelah beberapa menit meninggalkan Stasiun Tugu dengan mobil jeep. 

Aku yang sejak tadi menikmati jalanan kota Jogya yang lengang, langsung menoleh padanya.

“Sebelumnya, sudah pernah. Tapi, waktu SMP, setelah itu belum lagi.” Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir untuk bepergian ke kota ini. Selain tidak ada keluarga, teman, maupun sanak saudara. Jogyakarta, tidak pernah selintas sedikit pun untuk aku kunjungi.

Sampai, aku melihat postingan makanan Gudeg di sosial Media, dan terpikirlah Jogyakarta.

“Sudah lama sekali, Mba. Jogya sudah banyak berubah.” Serunya sesekali menoleh padaku, karena harus fokus dengan jalanan.

“Oiya?!”

“Iya. Mbak Aris, akan jatuh cinta sama Jogya. Semua turis yang ke sini, selalu ingin Kembali.”

Aku menganggukan kepala dengan kedua mata menerawang ke jalanannya. Ada perasaan yang baik saat menginjakkan kaki di sini. Panas memang, tapi ada hal yang menyenangkan yang kurasakan dari kota ini.

“Ngomon-ngomong Mbak, kita makan siang dulu ya?! Mbak Aris, suka gudeg?”

Tahu aja saya lapar.

“Boleh. Itu salah satu alasan saya ke ini. Gudeg.”

Lihat selengkapnya