Before I fall in love

J U N E
Chapter #12

Chapter Sebelas

Bimo Prasetya

“Hahahahha, Mas Tom tuh memang orangnya seperti itu. Kaku dia. Tapi, saat elo kenal dia, elo akan menemukan kebaikannya,” ungkapku, setelah Arista menceritakan tentang kejengkelannya pada Mas Tommy.

“Ya, semua orang baik, kok. Cuman, ya dia nyebelin aja. Ngomong tuh sekenanyam” Arista tetap jengkel. Namun, aku menemukan keringan dalam suaranya.

Aku mengulum senyum, dari suaranya dia terdengar baik-baik saja. Sudah lama rasanya, aku tidak mendengar suaranya yang terdengar menyenangkan ini.

“Jadi, gimana Titik Temu?” tanyaku, berdiri tegap menghadap langit yang begitu biru di atas sana. Hari ini, sejak pagi langit cerah dengan warna birunya, dengan sekawan awan putih yang melayang indah. Jadi, kuputuskan sejenak ke blakon untuk menghirup udara segara, sekalian menerima telepon dari Arista, menghindari kebisingan di dalam ruangan.

“Tempatnya seru. Gue suka. Walaupun agak kaget juga, satu kamar empat orang.”

“Lho, gue pikir elo tahu. Hostel Namanya juga. Apa yang elo harapkan?!”

“Iya, sih. Gue engga tahu soalnya.”

“Melangkah lebih jauh, banyak hal yang belum elo jamah.”

“Okay.”

“Crap!” gumamku, teringat sesuatu.

“Kenapa, Bim?”

“Sore ini ada rapat ketua tim lagi,” keluhku menghela napas Panjang.

“Rapat bulanan?”

Aku menganggukan kepala, membenamkan salah satu tanganku ke dalam saku celana. “Iya. Paling malas gue.”

“Kenapa malasnya?”

“Kompetensi. Siapa yang paling banyak menemukan kesalahan cabang? Dialah tim yang paling hebat. Merasa puas, karena akan mendapatkan banyak bonus yang dihasilkan dari hasil temuan.”

“Iya, tiap divisi kan begitu. Saling kompetensi satu sama lain, teman menjadi komptetitor, menjatuhkan yang lain untuk merasa hebat,” Ucapnya. “Lagian, memang harusnya gitu, kan? Memang tugasnya audit itu menemukan kecurangan-kecurangan yang ada?”

Tidak salah memang. “Iya, tapi. Gue merasa bersenang-senang di atas penderitaan teman sejawat. Mereka di hukum, di pecat. Sedangkan, kami mengambil keuntungan dari situ. Merasa bersalah aja. Sekalipun, gue suka dengan pekerjaan ini”

“Bim, tahu, kelebihan elo ini bisa jadi kekurangan elo.”

“Maksudnya gimana?”

“Iya. Elo yang kadang menyimpan empati terlalu dalam sama orang lain, sampai melupakan diri sendiri. Yang belum tentu juga, orang lain akan mikirin perasaan elo,” jelasnya.

“Iya ya?!”

“Elo adalah orang yang menghindari kompetisi. Tapi, elo yang selalu menjadi pemenang. Kontradiktif sih itu.”

“Hahahahhaa, itu bakat terpendam sepertinya. Gue hanya ingin bekerja, menyelesaikan pekerjaan gue dengan baik. Hasil itu diluar kendali gue.”

“Benar juga ya kalau ada yang bilang, saat elo mengerjakan suatu hal tanpa fokus pada hasil, elo akan mendapatkan yang terbaik. Tapi, saat elo fokus sama hasil, elo engga akan dapat apa-apa.”

“Ada beberapa hal yang bisa kita kendalikan, ada hal yang tidak bisa kita kendalikan.”

“Betul juga.”

“Jadi, gimana perasaan elo? Sudah membaik.”

Arista diam sesaat. “Membaik kok, sepertinya.”

“Good for you, Ta,” senyumku. 

“Terus besok jadi cuti?”

Aku menegakkan punggung, pegal sekali punggung ini. “Jadi, dong. Rere ama Marsha udah bawel minta ketemu.”

“Wajar mereka bawel. Udah lama juga, kan elo engga pulang?!” ingatnya. “Elo engga pulang sejak…”

“Gue punya alasan kuat, Ta,” aku langsung memotong ucapan Rista sebelum ia menyelesaikan.

“Iya, Bim. Gue ngerti.”

Bohong. Rista tidak mengerti.

“Terus hari ini rencananya mau ke mana?” aku mengalihkan pembicaraan.

“Emm… tidur.”

“Yaelah, Ta. Tidur mah di Bandung juga bisa!”

“Yaelah, Bim. Kapan lagi coba, bisa tidur jam segini?! di Jogya pula.”

Bener juga, sih.

“Ya udah. Have a fun ya di Jogya?! Dan, salam untuk Mas Tommy?” pintaku

“Okay. Salam untuk Rere, Marsha, dan Bundamu.”

“InshaAllah, gue sampaikan.”

“Bye.”

“Bye.”

Dan, telepon tertutup.

Aku kembali memasukan ponsel ke dalam saku celana katun ini, kembali menatap langit biru yang begitu cerah ini. Menghirup udara segar ini dalam-dalam, menahannya sejenak, dan lalu mengembuskannya perlahan.

Kepalaku menengok ke bawah dengan badan menyender pada tembok pembatas, jalan raya di bawah sana cukup ramai dengan lalu lalang kendaran. Begitu sibuk, berpacu dengan waktu. Berbanding terbalik dengan kedai kopi di sebrang sana, sepi dengan pengunjungnya.

Bersyukur, besok aku mengambil cuti 3 hari untuk pulang ke Jakarta. Ya, itung-itung istrahat dulu dari pekerjaan yang menjemukan ini.

“Mas Bim?!” aku menoleh pada suara yang menyapaku.

Zemi berdiri di dekat pintu, tersenyum kecil menatapku.

Aku berdehem untuk memberikan udara pada tenggorakanku, ada keresahan yang terasa pada dirinya, sejak malam di Pantai Pangandaran.

“Hey, Zem?!” sahutku, tersenyum tipis menyambutnya.

Zemi pun melangkah mendekatiku, suara hentakan sepatunya yang melangkah mendekatiku, seperti menabuh detak jantukk. Rambutnya tergurai sempurna, terikat rapi di bagian Tengah, dengan belahan poni Tengah yang acak. Aroma bunga Lily tercium jelas, menambah desiran aneh di sekujur tubuh. 

Shit! Otak gue konslet.

“Mas Bim, suka banget nongkrong di sini,” ucapnya sesaat berdiri di sampingku.

Aku satu melangkah menjauh, entah untuk alasan apa. Hanya saja, kalau terlalu dekat, aku takut jantungku terlepas begitu saja dari rongganya.

“Hehehe, iya. Lagi butuh udara segar,” sebisa mungkin, setenang yang kumampu.

Zemi menganggukan kepala, menatapku dengan khawatir. “Mas Bim, baik-baik aja?”

Glek.

“Baik. Kenapa memang?”

kenapa suaraku terdengar ketus?

“O kirain kenapa. Soalnya, kayak tegang aja gitu mukanya.”

“Perasaan kamu aja.”

“O iya kali ya.”

Kenapa sih sama gue?

“Eh, Mba Rista tuh lagi di Jogya ya?”

Aku meliriknya sesaat. “Iya. Kok tahu?”

“Pas kemarin di Pangandaran kan, Mas Bimo kasih tahu saya sama Satria soal Mba Rista lagi di Jogya,” jelas Zemi.

“Oiya, saya lupa.”

Zemi menganggukan kepala. “Mas Bimo sama Mba Rista tuh pacaran ya?!”

“Enggak!” aku langsung menyangkalnya, menoleh pada Zemi yang tampak terkejut dengan jawabanku. “Sorry, maksudnya, engga. Kita berteman baik.”

“Ooo…kirain.”

“Kiraian kenapa?” Aku langsung berdiri menghadapnya.

Lihat selengkapnya