Aku menatap nanar layar di depan mataku. Aku melihat layar yang sama dengan layar saat aku melihat pengumuman kegagalan pertama itu. Aku menjadi sedikit marah. Bahkan buku soal UTBK yang menemaniku malam itu, sudah kuremas hingga tidak berbentuk. Rasa amarah itu memuncak hingga air mata lagi-lagi menetes. Aku tidak berdaya, rasanya semua yang kulakukan sia-sia. Apa aku terlalu percaya diri? Kalau iya, kenapa tidak ada yang mengingatkanku selama ini? .
Aku menatap nanar halaman buku yang kuremas tadi. Aku mencoba memperbaikinya, dengan tangisan yang justru semakin deras. Tidak apa-apa menangis, itu tidak sesulit itu. Tapi aku justru berusaha menahan tangisan itu dengan mengatupkan bibirku rapat. Aku juga tidak ingin papa dan ibu tahu, kalau aku anak pertamanya yang dikenal keras dan dingin ini ternyata menangis juga. Remasan kertas itu tidak kunjung membaik, ia justru terlihat sangat kusam dan keriput. Aku menatapnya lekat, entah mengapa aku terlihat mirip dengan kertas itu sekarang. Tapi, apa aku benar-benar ingin terlihat seperti kertas yang kuremas itu? Tentu tidak.
Lagi, dengan air mata yang masih terurai aku kembali belajar, mengisi amunisi dengan berbagai ilmu yang kuharap bisa menjadi alat paling ampuh untukku meraih PTN nanti. Ini baru permulaan, aku tidak akan jatuh semudah itu.
***
Suasana pagi itu begitu mendung, suhunya juga begitu dingin. Walau warga asli, aku tetap belum terbiasa dengan cuaca dingin di daerahku itu. Mungkin karena pengumuman SNMPTN sudah keluar, kami anak kelas 12 dipanggil ke sekolah. Entah guru ingin memberi selamat kepada mereka yang lolos, atau memberi semangat untuk mereka yang tidak lolos. Kuharap, aku bukan salah satu yang diberi kata semangat.
‘’Semangat ya Navya, ibu tahu kamu pintar....kamu pasti bisa masuk jalur SBMPTN ya Nak’’. Sial, aku menerima kata semangat itu dari guru yang semester lalu meyakinkanku , kalau aku akan masuk dengan mudah di jalur SNMPTN. Kali ini, ia meyakinkanku lolos dari jalur SBMPTN. Sejujurnya, aku mendengarnya seolah mendengar kutukan, bagaimana jika perkataan ibu ini selalu bertolak belakang dengan fakta. Itu menakutkan.
‘’Jadi, kamu berencana ambil jurusan apa nak..’’ tanya ibu itu lagi.
Aku melihat sekitarku, teman-teman yang lolos SNMPTN bercanda gurau seolah tidak ada lagi beban di hidup mereka. Bahkan Danil, yang pertama kali tahu hasil SNMPTN ku belum juga menyapaku sampai sekarang. Apa dia kini meremehkanku karena aku tidak lolos? Atau, dia tidak menganggapku pintar lagi dan tidak bisa dijadikan teman karena tidak lolos?. Tidak ada pemikiran positif yang ada di kepalaku sekarang, dan itu menyebalkan.
‘’Navya, nak...mau ambil jurusan apa..’’
‘’Ehh..maaf bu, tapi Navya lagi mikir. Kayaknya, saya mau ambil jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial saja bu, di Universitas Sumatera Utara..’’ jawabku yakin, tapi tidak dengan wajah ibu ini.
‘’Itu jurusan apa nak? Ibu belum pernah dengar. Terus, kamu gak mau nyoba top 10? Kenapa di USU? Kamu bisa kok itu di top 10 PTN..’’
Kalau boleh jujur, ucapan ibu ini terdengar menyebalkan. Kenapa aku tidak bisa membuat pilihanku sendiri? Dan mengapa dia harus mengomentari pilihanku, dan berlagak seolah akan sangat mudah bagiku kalau aku tes SBMPTN ke top 10 PTN. Aku sudah membulatkan tekad tidak melakukannya, karena dibandingkan belajar, aku lebih tidak sanggup jika menerima kekalahan kedua kali. Akan aku buktikan, pilihanku tidak akan salah.
‘’Navya...’’
Akhirnya, si jangkung itu menyapaku.
‘’Selamat yahh, gila akuntansi USU nih yee..’’
‘’Yah, gak seberapa lah dibanding mereka yang masuk UNDIP..’’
Aku melihat ke arah mereka yang dimaksud Danil. Disana berkumpul empat sampai lima orang yang lolos ke UNDIP, salah satu universitas terbaik di Indonesia.
‘’Lagian, kamu kenapa sih gak ikutin omongan Kak Nara soal pilihan universitas. Jelas-jelas sekolah kita itu langganan UNDIP, tapi kamu malah pilih UB. Wajar sih kalah...’’
Perkataannya cukup menyebalkan, kukira kami sedekat itu dan dia akan memberiku kata semangat. Tapi, sudahlah, aku mewajari dirinya yang selalu apa adanya jika bicara. Tidak ada filterisasi.