Ezra hanya menyentuh sarapan yang Risa buatkan sedikit.
“Aku berangkat,” ucapnya datar.
“Tunggu, Za,” Risa menyusul Ezra, berlari kecil.
Risa merapikan dasi Ezra dengan serius, menepuk-nepuk bagian kusutnya untuk merapikan kemeja suaminya itu.
“Cukup.”
Ezra menahan tangan itu kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Risa, meninggalkan Risa di depan pintu rumah mereka. Tanpa basa-basi memasuki mobilnya dan berlalu.
Risa menatap nanar mobil yang dikemudikan Ezra berlalu menjauh, sekali lagi hatinya terasa diremas-remas. Dia hanya benalu dalam kehidupan laki-laki itu, Ezra telah berhasil membuatnya menangis tanpa air mata. Risa pikir cinta akan tumbuh karena terbiasa. Risa pikir perjodohan ini akan berhasil, dan ternyata semua pikiran Risa salah. Hati laki-laki itu telah beku untuknya. Segala yang Risa lakukan adalah percuma, meskipun Risa sama sekali tidak ingin berhenti.
***
Risa selalu ingat sebuah pepatah yang dikatakan ibunya ketika masih hidup. Di masa sulit, saat diawal-awal pernikahan mereka, yang selalu coba ia ingat saat Risa merasa resah akan kelakuan suaminya, “Risa jika kamu lelah, lihatlah pesawat terbang. Terbang tinggi dan berhasil mempertemukan yang saling merindu, mempertemukan anak dan orang tuanya, mempertemukan istri dengan suaminya, dan masih banyak lagi. Tapi ingat! Jangan memperhatikan cara terbangnya, lihatlah apa yang dilalui pesawat itu untuk bisa terbang sejauh burung-burung. Begitu banyak prosedur dan prosesnya pun lama.”
Begitulah pepatah ibunya, Risa tahu ada kemungkinan risiko gagal berumah tangga dengan Ezra. Tapi Risa menolak menyerah, karena Risa tidak ingin kalah. Perjuangannya tidak seberapa, atau belum seberapa, apa yang Risa lalui belum ada apa-apanya.
Ketiadaan cinta yang saling berbalas dalam rumah tangga ini membuat Risa rapuh, namun tidak pernah meniadakan cintanya kepada Ezra. Cinta diam-diamnya.
Bagaimana lagi Risa harus mendeskripsikan Ezra, bagaimana dia harus menjelaskan betapa laki-laki itu pernah dan masih memikat hatinya. Namun yang mengenaskan, dulu maupun sekarang, Risa tidak pernah berhasil membuat cintanya bersambut, setiap hari mereka hanya menghasilkan jarak yang semakin mengangga. Terbentuk dari kebisuan-kebisuan yang mereka lewati dengan tenang, seakan itu adalah surga bagi Ezra namun lautan derita untuk Risa.
Suara denting pendulum jam tidak pernah mengusik Risa, meskipun jarum pendek itu akan melewati tengah malam. Risa masih menunggu di atas sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Ezra dengan sabar. Laki-laki itu selalu pulang larut malam, tapi malam ini tidak seperti malam-malam yang lalu. Kekawatiran Risa sudah keluar dari persembunyiannya, batinnya tidak merasa tenang. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Ezra, laki-laki itu menyetir mobil sendiri.
Satu jam kemudian suara mobil masuk ke pelantaran parkir, malam ini Ezra pulang lebih larut dari biasanya, Risa mengintip dari celah jendela. Itu bukan mobil suaminya, tapi Ezra turun dari mobil itu. Kemudian mobil itu pergi berlalu begitu saja, menyisakan Ezra yang sedang berjalan ke arah rumah dengan sempoyongan. Dengan sigap Risa membuka pintu.
Ezra telihat sangat berantakan, jas yang dia pakai entah tanggal ke mana, dasi yang dia pakaikan sudah dilepas, dua kancing atas kemeja putih Ezra sudah terbuka dan pakaiannya kusut. Kemudian perhatian Risa hinggap di mata tajam Ezra. Mata itu sayu dan memerah, Risa menangkap tubuh laki-laki itu saat tiba-tiba akan jatuh.
Napas hangat Ezra menerpa tengkuknya yang dingin, Risa menahan tubuh yang bobotnya lebih besar dari tubuhnya. Ia memindahkan tangan lunglai Ezra ke atas bahunya dan memapah suaminya itu kedalam kamar.
Setelah mengunci pintu, Risa kembali ke kamar, Ezra sama sekali tidak mengubah posisinya, masih berbaring telentang. Kedua sepatu masih menempel, dengan sigap Risa membukanya satu persatu. Dibukanya satu persatu kancing kemeja yang telah melekat oleh keringat, tidak akan nyaman tidur dengan memakai kemeja seperti ini. Risa memeras handuk basah yang sudah ia celupkan ke dalam air hangat, mengelap badan atas suaminya. Susah payah Risa memakaikan kaus pada tubuh besar suaminya, Ezra hanya bergumam tak jelas. Setelahnya Risa melepaskan celana panjang kain Ezra, menyisakan celana pendek laki-laki itu dan menaikan selimut yang ada di bawah ranjang.
Tiba-tiba saja kedua mata tajam Ezra terbuka dan memandangnya sayu, dia masih berbaring. Sedangkan Risa masih menunduk di hadapan Ezra, entah dengan kesadaran atau tidak kemudian tangan kokoh itu merayap ke punggung Risa, mendorongnya dan membawa Risa semakin dekat. Ezra mencium Risa dengan mulut berbau alkohol, Risa terkejut namun tidak bisa melepaskan tangan yang membawanya semakin menunduk. Risa ingin memprotes, namun tidak jadi. Beberapa saat kemudian ciuman itu berhenti, Risa mendengar napas Ezra yang turun naik dengan teratur. Suaminya telah kembali tertidur, dan pikiran Risa mulai melayang-layang.
***
Risa menatap laki-laki di depanya itu, penampilannya sangat luar biasa memikat dengan cara yang sederhana. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan kemeja biru yang lengannya sudah digulung, bersama celana hitam panjang dan sepatu pentopel.
Risa yakin kalau laki-laki di depanya baru saja pulang dari pekerjaannya, tapi entah kenapa Risa merasa tak asing pada cara bola mata cokelat itu, yang memandang tajam ke arahnya.
Risa terkejut setengan mati, saat sadar bahwa orang yang ada di depannya adalah Ezra Prawira. Kakak kelasnya saat SMA, adalah orang yang kini ada di hadapan Risa. Sekaligus calon suaminya dari perjodohan bisnis ini, tidak ada sedikit pun lekukan di bibir dengan rahang yang kuat itu. Bibirnya bergaris lurus, tanpa senyum dan datar.
***
Sinar matahari menerobos melalui celah-celah gorden, membangunkan Risa dari tidur lelapnya. Lengan kokoh itu ada di sela pinggangnya, mengungkungnya erat untuk mendekat. Risa menatap wajah damai Ezra yang masih terlelap, biarkan seperti ini. Risa hanya ingin menikmati beberapa saat kedekatan mereka, tanpa harus merasa takut membuat laki-laki ini marah.
Risa selalu suka melihat alis Ezra yang lurus, hidungnya yang mancung dan bibirnya. Juga pipi itu, Risa tahu Ezra punya lesung pipit, meski tidak pernah ia tampakan semenjak mereka menikah. Tapi senyuman Ezra saat SMA selalu menjadi mataharinya, lesung pipit itu membuat Ezra tampak ramah. Tentu itu bukan Ezra yang sekarang, meski Risa tahu Ezranya bukan Ezra yang dulu penuh senyuman dan ramah. Ezra yang sekarang adalah laki-laki sedingin es, berhati beku.
Saat merasa ada pergerakan dari lengan itu, kontan membuat Risa pura-pura kembali tidur. Ezra merasakan ada pergerakan, saat dia terbangun dan menyadari sekelilingnya dia sadar telah ada di rumah. Sekarang Ezra sadar ada Risa dipelukannya, dan Ezra tahu Risa sudah bangun. Namun dia pun tidak menghiraukan itu, malah semakin mengencangkan pelukannya pada perempuan itu. Weekend ini biarkan mereka menikmati pagi lebih lama, Ezra menutup matanya kembali.
Jantung Risa berdetak kencang, Risa bahkan khawatir Ezra bisa mendengarnya. Risa mengucap syukur didalam hati, merasakan Ezra tidak bergerak lagi. Ternyata suaminya belum terbangun, dengan sangat hati-hati Risa menyingkirkan lengan Ezra. Dia harus memulai pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, Risa turun dari atas ranjang.
Pekerjaan paginya, ia mulai dengan memungut pakaian-pakaian kotor Ezra, lalu memasukkanya ke dalam keranjang cucian. Membersihkan debu-debu yang ada di kamar, kemudian setelah selesai dia berpindah ke ruangan lain.
Setelah selesai membersihkan rumah Risa menuju ke arah dapur untuk memasak, sarapan pagi ini cukup omelet sayur saja. Itu sarapan kesukaan Ezra biasanya, saat mulai memotong-motong sayuran suara langkah kaki mengarah ke dapur, Risa tahu itu Ezra sudah bangun. Tanpa sapaan basa-basi selamat pagi laki-laki itu duduk di kursi meja makan. Risa sudah sangat hapal dengan kebiasan Ezra, sehingga saat laki-laki itu bangun dengan sigap dia menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke dalam cangkir, kemudian menyerahkanya kepada Ezra.
“Kopi.”
“Emm.”