Pintu lift bergeser terbuka. Aku dan Jessie berjalan keluar menuju apartemen kami. Pintu ke tiga dari lift. Aku mengetuk pintu itu pelan. Tidak butuh waktu lama untuk menuggu pintu terbuka. Seorang wanita tersenyum ramah dari balik pintu. Chloe. Matanya sipit seperti orang Korea, tapi asalnya bukanlah dari sana. Ibu Chloe berasal dari Singapura, dan ayahnya berasal dari Thailand. Dia berkewarganegaraan Singapura. Namun, pekerjaan membuat Chloe terdampar di Negeri Kanguru. Ia bekerja di salah satu perushaan besar di Sydney. Chloe satu-satunya yang bekerja di sini.
Jessie langsung melepas boots hitamnya yang kemudian ia ganti dengan sandal berbulu.
"Good night, Chloe!" Sapanya dan langsung berlari masuk ke dalam kamar.
Chloe hanya tersenyum. Ia kembali duduk di sofa, lalu meletakan laptopnya di pangkuan paha. Pekerjaan membuatnya terjaga. Mantel coklat kuletakan di tiang gantungan samping sofa.
"Have fun, girl?" Ia memiringkan kepala menatapku.
"Yes, of course. Tapi aku yakin kamu tahu siapa yang lebih bersenang-senang di Art Gallery." Aku mengangkat kedua halisku ke atas. Chloe tertawa ringan mendengarnya.
Aparteman kami berada di kawasan Carillon Avenue, di kawasan Newtown NSW (New South Wales). Tidak mudah untuk mendapatkan apartemen dengan penghuni empat orang seperti kami. Ada tiga kamar di apartemen ini. Dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Sebuah sofa melingkar di tengah ruangan. Meja makannya menyatu dengan dapur dan berada tepat di samping pintu masuk. Satu kamar mandi berada di sisi kanan.
Kamar Chloe dan Jessie berada di sisi kanan. Sedangkan aku harus berbagi kamar dengan roomate lain, Salma. Sebenarnya apartemen ini hanya diperuntukan untuk tiga orang, tapi karena kamurahan hati sang pemilik akhirnya kami diizinkan untuk tinggal berempat. Istri dari pemilik apartemen ini adalah orang Indonesia. Alasan yang masuk akal mengapa ia bisa dengan mudah mengizinkan aku dan Salma untuk tinggal.
Salma yang lebih dulu menemukan apartemen ini. Dia sama sepertiku, seorang mahasiswi asal Indonesia yang mendapat beasiswa berkuliah di Sydney. Bukan hanya itu, dia pun adalah sahabatku sejak duduk di bangku SMA. Kami beruntung bisa melanjutkan pendidikan ke Sydney bersama-sama. Alhamdulillah.
Perlahan aku melangkah ke lemari pendingin. Membukanya dan mengambil beberapa cemilan untuk menemaniku mengerjakan esai.
"Good night, Chloe!" Kataku sebelum masuk ke dalam kamar.
"Night girl." Balasnya menatap layar laptop.
Setiba di kamar semua sudah gelap. Hanya lampu tidur di samping ranjang yang menyala. Aku menekan saklar dan lampu menyala seketika. Kain putih dengan renda hitam membuaku terkejut. Salma sedang melaksanakan solat witir. Kebiasaannya sebelum naik ke ranjang.
Aku menaruh cemilan di atas meja belajar dan berjalan ke arah lemari. Mengganti pakaianku dengan piama tidur berwarna kuning.
Berkat kemurahan hati sang pemilik apartemen. Kamar kami pun mendapat dua lemari dan dua meja belajar. Hanya ranjangnya saja yang harus kami tempati berdua.
"Udah jam sebelas malam baru pulang?" Tanya Salma seraya melipat sajadahnya baru saja menyelesaikan salat.
"Kita tidak kemana-mana, Sal, hanya ke Art Galley." Jawabku mengambil kursi belajar dan duduk di atasnya.
Aku tahu kekhawatirannya. Salma selalu mengingatkanku perihal kebaikan. Walaupun usia kami sama, tapi aku merasa bahwa Salma lebih dewasa dari pada aku. Terutama perihal pergaulan. Terlebih setelah ia tinggal di Sydney. Salma jadi lebih berhati-hati dalam berteman.