Bangunan kuno bergaya elegan itu telah nampak di pelupuk mata. Arsitekturnya sering disebut mirip dengan sekolah para penyihir di film Harry Potter, Hogwarts. Tidak jarang pula tempat ini sering menjadi objek foto para wisatawan. University of Sydney. Aku bangga bisa menjadi bagian dari salah satu universitas tertua di Sydney itu.
Suasana pembelajaran di perkuliahan sangat tenang. Dosen yang menyampaikan materi pun sangat kompeten. Kini aku sedang duduk di antara para mahasiswa di kelas. International Business Law. Pelajaran yang cukup menguras otakku untuk lebih keras berpikir.
Cahaya monitor dari in focus baru saja dimatikan. Layar yang menampilkan materi di depan kelas pun ikut hilang. Mr. Robert baru saja menyelesaikan materi yang ia sampaikan. Perkuliahan baru saja usai. Semua mahasiswa bergegas pergi untuk meninggalkan kelas. Aku duduk di tempatku menunggu semua orang keluar. Aku akan keluar setelah semua orang keluar.
"Ris, aku duluan pergi ke rumah Ibu Halimah, ya, aku tunggu kamu di sana." Ucap Salma menyentuh bahuku.
"Iya. Aku akan berangkat satu jam lagi." Balasku tersenyum.
Salma melenggang pergi ke luar kelas. Aku bangkit mengikutinya dari belakang. Namun, sepertinya aku tidak akan semudah itu meninggalkan kelas.
"Risha!" Mr. Robert memanggilku.
Pria paruh baya dengan rambut yang hampir memutih itu berjalan ke arahku. Beberapa buku berada dalam pelukan tangannya. Kameja putih dengan dasi hitam membuatnya terlihat berwibawa.
"Yes, Sir." Aku berhenti melangkah.
"Saya sudah membaca esai yang kamu buat minggu lalu dan saya menyukainya." Puji Mr. Robert.
"Thank you so much, Sir." Aku tersenyum bangga.
"Kamu sudah menyelesaikan esai di minggu ini?"
"Hanya perlu sedikit editan saja, Sir."
"Good. Aku tidak sabar untuk membacanya lagi. Good job, Ms. Risha!" Ia memberiku senyum tipis, lalu berjalan pergi mendahuluiku keluar dari kelas.
Mr. Robert sangat ramah, terkhusus bagi para mahasiswa Internasional sepertiku. Tidak jarang ia memberi masukan yang sangat bermanfaat untuk esai yang aku buat. Dia salah satu dosen favoritku.
Boots hitam yang aku pakai menimbulkan suara kecil di koridor. Koridor luas dangan beberapa patung berada di sisinya. Aku berjalan pelan menyusuri koridor. Halaman yang berada di dalam lingkungan dalam kampus sangat luas. Rumput hijau yang dibiarkan tumbuh menjadi tikar alami untuk para mahasiswa. Banyak dari mereka yang berkumpul bersama di bawah naungan pohon. Aku pun sering melakukannya.
"Ris, Risha!" Teriak seorang pria dari belakang.
Aku berbalik dan mendapati Beny sedang berjalan cepat ke arahku. Aku menunggunya. Pria berkaca mata itu berada di jurusan yang sama denganku. Tapi Beny sudah di tahun ke empat, ia seniorku. Beny bukanlah penerima beasiswa. Kedua orang tuanya adalah salah satu pemilik perusahaan pertelevisian swasta di Indonesia, maka dia memutuskan untuk tidak mengambil beasiswa.
"Ada apa, Kak Ben?" tanyaku setelah posisi kami sejajar.
"I need your help," ucapnya serius. "Aku butuh kamu untuk jadi moderator di acara seminar besok pagi." Tegasnya.
"Besok pagi? Biasanya aku di kasih tahu lebih awal jika ada acara seminar, tapi kenapa ini mendadak sekali?"
"Iya, seharusnya aku yang harus jadi moderatornya, tapi mendadak dosenku mengadakan tes di hari yang sama dan di jam yang sama pula. Kamu pasti tahu pilihanku, bukan?" Ucap Benny mengangkat sebelah halisnya. Andai aku bisa melakukan hal itu, pastilah sangat keren.
"Tapi ini mepet sekali, aku juga belum tahu apa materinya dan siapa pengisi materinya." Keluhku.