Before the Morning Comes

silfiyas
Chapter #2

Chapter 1: Suara Penenang

Masa lalu ada untuk menerangi masa depan.

***

“Kantong mata lo makin parah gitu?” Ari meletakkan segelas kopi Starbuck di meja Shan. Lelaki dengan wajah pucat yang sibuk menelungkupkan kepalanya di meja café hanya bergumam menyahut suara temannya. “Jangan tidur, kita ada kelas abis ini,” imbuh Ari saat melihat Shan yang hampir kehilangan kesadaran di depannya.

Dengan kepala yang sangat berat, Shan mengangkat kepalanya. Keningnya berkerut dalam dan mata pandanya parah bukan main. Namun anehnya Ari malah ingin sekali memukul kepala Shan ketika menyadari bahwa lelaki itu masih tetap tampan meski berada di keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Ari langsung meneguk minuman dinginnya, merasa harus menyadarkan dirinya sendiri ketika adar bahwa ia baru saja memuji lelaki kadal di depannya.

“Gimana kalau gue skip kelas?” tanya Shan sebelum menyesap hati-hati kopinya.

“Ya terserah, tapi jangan ribetin gue kalau lo ngulang kelas.” Ari menatap teman sekamarnya itu dengan kasihan. “Lo masih nggak bisa tidur sendirian? Parah banget sih lo!”

“Lo yang parah. Udah tau gue nggak bisa tidur sendirian malah pulang kampung. Cupu lo, anak Mama!” Shan kesal bukan main. Ditambah dengan denyutan kepalanya yang seakan-akan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

“Kan masih ada Junet sama Abraham di rumah.” Elak Ari.

“Mereka sibuk malmingan, nggak pulang itu kunyuk berdua. Sial emang kalian, gue gratisin tinggal di rumah biar ada temen malah ditinggal-tinggal.” Gerutu Shan yang terlihat kesal bukan main.

Ari menahan tawa mendengar gerutuan temannya. Rumah yang mereka tinggali memang milik Arshan. Rasanya lucu saat mengingat bagaimana Shan tiba-tiba menghubungi beberapa alumni sekolah yang satu kampus dengannya. Dengan nada bossy memerintah mereka untuk tinggal bersama. Karena benefitnya lebih banyak, Ari menerimanya dengan senang hati. Lagian Shan juga bukan teman yang buruk.

“Yaudah, take a nap aja nanti gue bangunin. Satu setengah jam lumayan buat ngilangin migran.”

Shan mengangguk kecil, ia menjauhkan kopinya yang tinggal setengah dan menelungkupkan kedua tangannya sebelum menimbunnya. Shan menderita insomnia kronis sejak usia sembilan tahun. Ia susah tidur dan seringkali terbangun dengan napas tersengal. Shan tidak bisa tertidur tanpa adanya orang di sampingnya. Tempat paling nyaman baginya untuk tidur adalah keramaian, meskipun kualitas tidurnya tidak bisa dikatakan bagus. Namun cukup untuk mencegahnya pingsan di sembarang tempat.

Seperti saat ini, ia masih belum bisa pergi kealam lain meski sudah memejamkan matanya begitu erat. Shan merutuki dirinya sendiri. Sampai kapan ia akan seperti ini. Sudah belasan dokter yang ia datangi namun traumanya masih belum pergi. Bahkan resep dari para dokter itu sudah tidak bisa berefek saking seringnya ia konsumsi.

Lihat selengkapnya