“Mom, gimana kalau barnya tutup jam 10 aja?” Kian menatap lalu lalang para pegawai yang sibuk menata dan membersihkan meja bar. Bar Moonlight milik ibunya itu memiliki cukup banyak pengunjung setiap harinya. Kian sendiri tidak paham mengapa bar milik ibunya yang dimatanya terlihat biasa-biasa saja itu memiliki banyak pelanggan tetap. Di bar Moonlight itu ada sedikitnya 14 pekerja tetap dan 5 pekerja part time.
“Ini bar sayang, bukan sekolahan. Mana ada bar yang buka siang hari? Kamu pengen Mama bangkrut?” Mama Lita, ibu Kian menyahut dengan kedua tangannya yang cekatan mengelap gelas-gelas yang ada disana. Di sampingnya ada Leo, salah satu dari tiga bartender yang dimilikinya.
“Tapi malam itu bahaya buat cewek-cewek Mom.” Kian masih bersikukuh, perempuan itu duduk di depan meja bar sambil menggerutu sedari tadi. Sebuah aktivitas yang hampir dihapal oleh seluruh pegawai, termasuk Mama Lita sang bos besar.
Mama Lita menghela napas melihat kelakuan anaknya. Entah pengaruh darimana, sejak kelas dua SMA Kian gencar merayu ibunya untuk menutup bar malam dan menggantinya dengan apapun selain hal-hal yang berhubungan dengan bar atau club malam. Protesan Kian semakin gencar ketika anak gadis satu-satunya itu masuk ke dalam dunia perkuliahan dan mengikuti berbagai komunitas penegak hak-hak perempuan. Rasanya ia menjadi ibu durhaka yang tidak direstui anaknya untuk membuka suatu usaha.
“Mereka kan kebanyakan dateng sama cowok kenalannya Kian.”
“Cowok-cowok mata keranjang itu nggak bisa dikasih tanggungjawab Mom! Kadang mereka pulang mabuk, kita nggak tau apa yang bakal terjadi sama itu cewek. Tau nggak kasus pelecehan sexual yang terjadi dengan alasan cowoknya mabuk? Itu cewek dipaksa wik-wik padahal udah nggak mau dan si cowok cuma modal minta maaf dan pakai alasan ma-buk. Terlebih mengingat hukum di Indonesia soal permerkosaan dan pelecehan sexual masih tergolong ringan. Terlebih dengan stigma yang melekat pada korban pemer—.”
“Leo, tolong ambilkan speaker dan ajak Kian jalan-jalan. Sepertinya ia sedang ingin berorasi.” Ujar Mama Lita dengan wajah serius bukan main. Rasa-rasanya ia bertambah tua setiap mendengar orasi Kian tentang sudut pandangnya. Ia bahkan sudah menghapal beberapa pasal yang seringkali dilontarkan oleh Kian.
“Mooom!” protes Kian.
“Mau jalan-jalan?” ajak Leo, lelaki yang lebih tua lima tahun dari Kian. Leo sudah bekerja selama dua tahun di bar Moonlight.
“Ogah bener!” seru Kian dengan judes. Leo itu kaki tangan ibunya, Kian tidak ingin dekat-dekat dengan Leo. Males banget deh!
Mama Lita menghela napas melihat kekesalan anaknya. “Tiap hari kamis Mama udah bikin bar ini jadi bar khusus cewek karena permintaan kamu. Masa masih kurang?”
“Harusnya seminggu penih dong Mam…” ujar Kian dengan senyumnya yang menyebalkan.
Mama Lita menggeleng lelah. Ia kemudian melihat jam tangannya dan bertepuk tangan tiga kali untuk menarik atensi pegawainya. Tiga puluh menit lagi open, kita briefing dulu.”
Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan semua pegawai. Dengan sadar diri Kian melipir, duduk di pojok ruangan melihat interaksi sang bos besar dan anak buahnya. Ibunya nampak berkharisma jika dikelilingi anak buah berseragam hitam putih itu.
“Andre dan Liam jadi pemeriksa sekaligus penjaga depan. Selain bartender, semua pegawai harus tetap waspada jangan sampai ada pelecehan atau apapun yang berbau pelanggaran hukum di bar ini. Terutama penjaga kamar kecil, sering-sering periksa kondisi. Bartender, pengunjung yang mabuk di meja panjang jadi tanggung jawab kalian. Pastikan mereka pulang bukan dengan orang asing. Kesalahan kalian bisa berakibat fatal. Bukan takut bangkrut, tapi saya takut dipecat jadi ibu oleh si bos kecil.” Mama Lita berujar lucu sembari melirik Kian yang mendengus sembari membuang mukanya.
Seluruh pegawai nampak tertawa. Pertengkaran ibu dan anak itu menjadi hiburan sehari-hari mereka.
***
Shan bersama keempat temannya memasuki bar langganan mereka. Bar Moonlight memiliki desain yang cukup berbeda dengan bar lain. Bar yang tergolong luas itu memiliki desain dengan meja bartender yang berada di tengah ruangan. Meja tamu dibagi menjadi tiga, meja dengan kapasitas di bawah 5 orang di desain membentuk setengah lingkaran dengan kursi yang juga melingkar tersebar di sekitar tengah bar. Ada sofa dan meja panjang yang berjajar merapat tembok. Lalu ada ruang khusus yang terpisah oleh kaca transparan untuk kapasitas 15 orang yang harus di booking terlebih dahulu untuk dapat ditempati.
Lampu remang-remang dalam bar tersebut juga berbeda tiap harinya. Seperti lampu neon yang menampilkan sebuah tema, Shan kagum dengan banyaknya ide yang menjadikan bar ini nampak sangat spesial.
“Jam segini udah rame aja nih.” Abraham merangkul mesra kekasihnya yang datang hari ini. Dari keempat orang itu, hanya Abraham dan Junet sudah memiliki kekasih.
Shan tidak menyahut, ia hanya melirik sejenak kearah Abraham dan mengedarkan pandangannya. Melihat cukup banyak meja yang sudah ditempati, Shan setuju jika bar ini ramai meski belum menginjak tengah malam.
“Mau coba kursi bundar?” tanya Junet yang tertarik pada meja kosong yang paling dekat dengan bartender.
“Lo pengen lihat Shan melungker di sana?” sahut Ari yang menuai decakan dari Junet. Tanpa banyak bicara, Shan langsung menuju kearah sofa panjang berwarna biru tua yang berada di ujung ruangan. Tak banyak bicara, ia langsung merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.
Ketiga temannya itu sudah hapal betul dengan kelakuan Shan yang satu ini. Dan mereka memilih untuk duduk di kursi bulat sesuai anjuran Junet karena melihat Shan yang sudah selonjoran tanpa menyisakan tempat untuk mereka.
“Gue pesen kursi Shan dulu ke depan. Nanti dia di usir lagi.” Setelah meletakkan jaketnya, Ari berdiri dan menuju ke meja bar.
“Cuma bertiga Ri?” sapa Leo dengan senyuman saat Ari menarik kursi tinggi di depan bartender.
“Shan udah molor tuh di pojokan,” tunjuk Ari dengan dagunya.
Leo menjulurkan lehernya untuk melihat lebih jelas. Di meja ujung, Shan terlihat sudah tiduran seolah memiliki dunianya sendiri. “Dia begadang terus ya? Gue lihat dia jarang hidup beneran di bar ini. Kalau nggak tidur ya langsung keluar ama cewek.”
“Hehe, ya gitu deh Bang,” cengir Ari dengan jawaban amannya.