Aku menutup mata mencari kedamaian—
tapi sesuatu selalu menemukanku lebih dulu.
***
Suara rintik gerimis terdenger seperti statik yang menghantam permukaan tanah gelap yang terlalu banyak menelan memori. Suara itu terdengar seirama dengan tarikan dan hembusan nafas yang dalam dan mengeluarkan rangkaian panjang asap putih yang seakan tarik-menarik dengan udara yang ada. Asap putih yang melayang beriringan berputar-putar memenuhi ruang seolah dia tak mau ada celah kosong yang tertinggal. Itu seolah berpendar dengan cahaya layar TV yang menampilkan siaran gosip artis murahan dimana stasiun TV itu hanya mencari rating dan tidak peduli dengan berita gossip apa yang disampaikan. Panduan suara yang sungguh cocok untuk merengkuh sanubari yang sepi namun berusaha menyala ditengah kepengapan yang ada.
Momen ini serasi untuk menempelkan telinga ke lantai yang dingin yang seolah menyerap dinginnya hujan diluar. Rasa dingin itu seperti merambat naik mulai dari wajah lalu merasuk kedalam kepala sementara telinga yang satu lagi ditutup dengan tangan yang gemetar. Menenangkan sesaat namun rapuh dalam desiran yang berbisik. Momen itu pecah ketika terdengar suara gelak tawa yang memuakan disertai hembusan asap dari mulut.
Aku bangun dan duduk dilantai sambil menurunkan tanganku dan membiarkan paduan suara statik tadi memenuhi telingaku. Aku memperhatikan wanita paruh baya yang tengah duduk bersantai di sofa lusuh berlubang, tengah merokok dan menikmati acara TV itu. Iya, dia ibu tiriku. Sosok baru yang hadir dalam hidupku disaat aku masih sangat kecil. Dia tidak jahat, tidak, dalam ukurannya. Dia tak pernah melakukan kekerasan fisik hanya saja kalimat yang dia gunakan seringnya tidak merangkul dan mengambil simpati dari orang lain, seolah dia seperti membangun tembok ego sentris yang siap menyalahkan siapapun.
Asap rokok semakin memenuhi ruangan yang kecil ini. Paru-paru kecilku terkadang memberontak dengan itu, aku sering batuk dan mengeluarkan cairan lengket yang seolah menatap balik kepadaku sambil berkata “Itu takdirmu”. Aku tak bisa melakukan apa-apa terhadap itu, apalah aku, suaraku pun tak pernah didengar.
“Bu, aku lapar,” kataku dengan suara kecil dan gemetar. Aku berharap dia mematikan TV dan rokoknya lalu bergegas ke dapur dan membuatkanku makanan yang hangat dan sederhana namun cukup untuk menenangkan tubuhku yang kecil ini, namun dia hanya menoleh sesaat dan berkata “Masak Indomie saja, masih ada didapur.” Lalu dia kembali terpaku pada layar TV dan hembusan rokoknya.
Aku kecewa mendengar itu, bukannya aku tidak bisa memasak Indomie, aku berusia 7 tahun dan bisa memasak Indomie dan menggoreng telur tapi sudah tiga hari ini aku hanya makan Indomie, rasanya perutku sudah tidak bisa menerima itu lagi.
Dengan sedih aku berjalan pelan tanpa suara keluar rumah. Aku berhenti diteras yang becek terkena cipratan air hujan sambil menatap langit kelabu yang menurunkan gerimisnya lalu pandanganku beralih ke pohon jambu yang tumbuh menjulang dihalaman depan rumah. Aku menghampiri pohon itu dan menatapnya dari bawah, ia itu seolah membalas tatapanku dari atas dan berkata “Kau lagi.”
Aku memanjat pohon itu hingga ke dahan yang tinggi. Aku merasakan gerimis berubah menjadi hujan sedang dan itu mulai membasahiku. Sembari merasakan hujaman lembut hujan membasahi tubuhku, aku memetik buah jambu yang berada dekat denganku dan melahap itu, aku bahkan tidak peduli buah itu ada ulatnya atau tidak, jika ada ulatnya mungkin itu bisa jadi tambahan vitamin untukku.
Waktu berlalu sementara aku asik melahap jambu sampai suara petir yang tiba-tiba menggelegar bagaikan ledakan yang membelah langit, membuatku tersentak kaget dan tergelincir dari dahan dan terjun ke tanah.
Aku tersentak bangun dengan perasaan melayang jatuh ketanah dalam mimpiku masih menyelimuti tubuhku. Sebagian diriku lega kalau itu hanya mimpi dan bukan jatuh sungguhan, sebagian diriku yang lain menyesali itu karena mimpi itu adalah bagian dari ingatan masa kecilku yang mau aku lupakan.
Aku mengatur napas sambil mengusap wajahku dengan kedua tanganku. Wajah dan tubuhku berkeringat seolah terbawa suasana dengan mimpi barusan. Walaupun ruangan ini ber AC namun itu tak cukup menghalau itu. Mengatur napas adalah cara yang mudah untuk menenangkan diri seolah itu menghapus kekhawatiranku perlahan seiring dengan hembusannya.
Aku memeriksa ponselku dan melihat jam. Jam 04.36 AM, masih cukup pagi untuk menikmati secangkir kopi sambil melihat pemandangan kota di pagi buta dari beranda unit apartmenku. Apartment kecil yang murah ditengah kota yang menyuguhkan pemandangan khas urban yaitu kemacetan, polusi dan lalu lalang mobil polisi yang mengejar kejahatan. Pemandangan itu belum terlihat jika masih pagi buta seperti ini.
Aku bergegas membuat secangkir kopi lalu membuka pintu geser kaca yang mengarah ke beranda. Aku bersandar pada railing beranda sambil menyeruput kopi hangat yang langsung bereaksi dengan sel otakku. Seperti membuka semua sel yang tadinya lelap tertidur dan bersiap menerima cakrawala baru setiap harinya.
Aku Bayu Wicaksono, pria 27 tahun yang berasal dari kampung dan merantau ke kota untuk kuliah sambil bekerja. Aku berhasil lulus kuliah dengan biayaku sendiri dan lanjut dengan pekerjaanku sebagai seorang Graphic Designer di sebuah perusahaan iklan di kota. Aku sangat suka menggambar sejak kecil dan aku berhasil mengembangkan skill itu dan kreatifitasku untuk memperoleh sesuap nasi.
Kedua orangtuaku sudah meninggal dan tinggal ibu tiriku yang ada dikampung halamanku, menempati rumah peninggalan kedua orangtuaku.
Ayahku seorang yang keras dan pernah gagal dengan ambisi masa mudanya sehingga dia melampiaskannya kepadaku. Aku tak boleh mengeluh dihadapannya dan aku tak boleh bersuara dan berpendapat atas diriku sendiri. Dia meninggal setelah aku lulus SMA dan berpesan agar jangan meninggalkan kampung dan ibutiri ku tapi aku menolak itu, aku mau mengambil jalan hidupku sendiri dan dia sudah berada 6 kaki dibawah tanah sehingga tak bisa mengaturku lagi.