Before the Silence

Renja Permana
Chapter #2

Chapter 2

"Langkahku senyap di antara lukisan bisu, masa lalu berseru dari tiap warna yang semu."

 ***

“Makasih ya atas tiket galerinya. Kita sudah 3 tahun tidak bertemu dan sekarang kamu sudah sukses jadi curator lukisan.” Aku mendengar suara Cania yang sedang berbicara dengan teman kuratornya yang ternyata adalah teman kuliahnya dulu, diikuti dengan suara Reza yang berkenalan dengannya dan memberinya kartu nama. Suara mereka terdengar semakin jauh, seperti sirine yang menghilang ditelan jarak seiring dengan langkah kakiku yang meninggalkan posisi mereka karena aku bagaikan tertarik magnet magis yang terpancar dari lukisan-lukisan yang terpampang di tembok putih yang contrast dengan warna yang tertoreh pada canvasnya.

Kanvas besar itu tampak angkuh. Tak ada bingkai kayu yang berani merengkuh tepinya. Semburat emosi warna itu merambat keluar, merangkak di dinding putih yang dingin dan melompat masuk ke mataku seolah mereka tak mau berdiam diri tanpa arti.

Suara Cania dan Reza kali ini tak lagi terdengar, begitu juga dengan gumaman pengunjung lain. Ketukan langkah mereka seperti teredam oleh warna-warna yang keluar dari canvas itu atau mungkin aku sedang berada di dimensi lain dimana hanya ada aku dan lukisan-lukisan besar yang melahap dan mengikatkku.

Aku berdiri terpaku pada sebuah lukisan dengan goresan warna gelap yang saling berkejaran untuk menunjukan siapa yang dominan agar makna dari lukisan itu keluar. Layer demi layer warna dengan riang gembira memenuhi kepalaku dan akhirnya meledak memancar masuk ke dalam hati.

Dari situ aku sadar bahwa lukisan ini tidak hanya indah tapi seperti sebuah jeritan hati yang kelam, disampaikan melalui puisi warna. Pelukisnya seperti berteriak memuntahkan benang kusut yang tersimpul rumit dalam pikirannya dan menyampaikan itu pada orang lain dengan warna – warna yang kelam namun penuh makna.

Rasa penasaranku pada pesan yang ingin disampaikan pada si pelukis membuatku melangkah lebih jauh pada karya lainnya. Kali ini goresan warnanya tampak lebih tajam dan penuh emosi. Lukisan abstrak dengan sapuan kuas yang cepat, tajam dan penuh amarah sehingga membentuk sudut namun tak beraturan yang lagi-lagi berlomba menunjukkan maknanya, kali ini mereka meninggalkan rasa linu semu seperti mereka tertancap dalam hatiku.

Aku secara reflek memegang dadaku seolah rasa itu nyata atau memang itu nyata karena rasa itu membuka pintu ingatanku, menemukan sebuah memori usang yang terlupakan dan membentangkannya lebar-lebar seperti membuka peta lama yang sudah bertahun-tahun terlipat dilupakan. Tubuhku tak bisa bergerak atau melawan, aku seperti ditahan warna-warna itu, dipaksa menatap memori yang ingin kuhindari.

Bentangan memori itu memperlihatkan sosok ayahku, seorang pria yang keras, egois, dan kurang cakap dalam menyusun masa depannya sendiri. Sepertinya dia menyadari itu belasan tahun kemudian, bahwa hidup yang tidak pernah dia rencanakan sebelumnya malah membawa kesuraman dalam rumah tangganya. Dia menyadari itu dan mungkin menyesalinya atau tidak, dia melampiaskan itu kepadaku dan mulai mengatur hidupku.

Sejak kecil aku menggambar, dan jemariku tumbuh bersama garis dan warna. Dulu ayah menyukainya—barangkali karena saat itu aku masih kecil. Tapi ketika aku mulai serius, saat aku mewakili sekolah di lomba-lomba seni, tiba-tiba menggambar tak lagi cukup di matanya.

 

Jangan buang-buang waktumu dengan menggambar, lebih baik kau gunakan waktumu untuk memperbaiki nilai Fisika dan Matematikamu.

Kau bukan anak kecil lagi, gambar-gambar yang kau buat itu tidak akan bermanfaat saat kau dewasa.

Aku mau kau menjadi pegawai negeri, berhentilah menggambar omong kosong itu.

 

Kata – kata yang disampaikan ayahku itu sudah seperti nyanyian rusak yang mengiringi kehidupanku sejak SMA, bahkan itu membuatku tak bisa bernyanyi balik untuk membalas apa yang dikatakannya. Bukan membalas, tapi mengutarakan pendapatku sendiri. Seperti kedua tangan yang terikat, aku menyimpan semua peralatan gambarku dipojok kamar dengan berat dan melupakan itu walau terkadang mereka memanggil-manggil agar aku kembali menoreh emosi dengan pensil di halaman kertas putih itu.

Aku tak tahan dengan panggilan mereka maka aku menutup tumpukan buku sketsa dan peralatan gambarku itu dengan kain lusuh hingga aku lulus SMA dan ayahku meninggal. Saat itu hatiku terasa runtuh karena aku telah kehilangan kedua orang tua kandungku namun jeritan buku sketsa itu terdengar kembali merayuku, memohon kepadaku seolah berkata ‘Gores aku lagi dengan pensilmu, ayahmu sudah tidak ada, sekarang kau bisa melakukan apa yang kau inginkan’

Sebuah tepukan lembut di bahuku menyadarkanku dari dekapan warna gelap dari lukisan yang memenuhi hatiku sejak tadi, membuat mereka seperti lenyap perlahan tanpa mengucapkan selamat tinggal.

“Bay, bagaimana lukisan ini menurutmu? Bagus ya,” tanya Reza yang berdiri disebelahku sambil mengamati lukisan besar yang sedang aku selami tadi.

Lihat selengkapnya