Before the Silence

Renja Permana
Chapter #3

Chapter 3

“Dentum nada mengguncang ruang hampa, Suara hati berbisik, menembus gelap jiwa.”

 ***

Konser Band Svaranala adalah konser pertama yang aku hadiri dan aku cukup bangga akan itu. Aku merasa seperti diluar kotak sosiologi masyarakat pada umumnya yang menyukai lagu pop viral dengan lirik sederhana menceritakan cinta dan keindahan dunia, bagiku itu semua palsu. Aku tidak butuh lirik palsu, aku perlu lirik yang terluka, mengiringi tetesan darah dari torehan masa kecilku yang rapuh terbuka, suara Arya sang vokalis berhasil memandu kehidupanku yang suram sejak aku berusia 12 tahun hingga saat ini.

Malam ini aku berada di barisan paling depan, berpegangan pada pagar pembatas dan terdorong oleh penonton lain dibelakangku. Lonjakan dan dorongan, kombinasi yang cocok dalam lautan manusia yang meraup kenikmatan dunia berupa getaran gahar dari sang vokalis diiringi sabetan suara gitar yang membahana dengan rhythm dan melodinya, bagaikan gelombang bolak – balik yang terjadi jika permukaan air yang terganggu oleh sesuatu yang jatuh pada itu. Gelombang resonansi, ya aku dan seluruh penonton bagaikan menyatu dengan sapuan riak yang memancarkan adrenalin dan memantulkan resonansi semangat, emosi dan haru layaknya permukaan air yang dihujam. Aku dan penonton lainnya berjingkrak seirama dengan hentakan beat dilayangkan oleh pemain drum dan didramatisasi oleh dentuman bass yang dimainkan dengan sadis. Semua itu adalah satuan yang mematikan untuk menutup luka yang tak terlihat.

Arya mencapai reff salah satu lagunya dan menyerahkan itu kepada penonton. Dia menjulurkan tangannya yang memegang mic kepada lautan penonton di vip 1 untuk menyelesaikan reffnya. Sial, ini reff favoritku, aku berteriak dengan kapasitas maksimal paru-paru ku untuk memuntahkan liriknya. Aku berharap Arya ada didekatku namun dia berdiri agak jauh beberapa meter dariku. Aku menatap dengan iri ketika beberapa penonton disitu berhasil tos dengan Arya. Mungkin nanti dia kesini, masih banyak set list lagu yang akan dia nyanyikan.

Sudah 5 lagu mereka bawakan tanpa jeda dan teriakan Arya semakin ganas. Gerakan Arya semakin liar seolah dia terbawa oleh sapuan riak gelombang semangat penonton. Dia meloncat kesana kemari seperti sedang parkour diantara kotak – kotak sound system yang besar lalu melompat ke lautan penonton vip1 yang langsung sigap menangkapnya. Arya melakukan stage diving, tangan-tangan penonton yang penuh euphoria membawanya berkeliling seolah Arya sedang berenang telentang terapung di atas kolam manusia yang bergelombang riuh karena nyanyiannya lalu dia diarahkan kembali ke panggung. Lagi-lagi Arya melakukan itu jauh dariku, kapan dia kesini? Apakah dia tidak melihatku yang penuh peluh berbalut lirik kelam yang dia nyanyikan? Aku harap kau berdiri didekatku walaupun itu di detik – detik akhir acara.

Selama konser berlangsung sungguh aku tak ingat apapun. Aku tak ingat masa kecilku, aku tak ingat hari-hariku yang sepi di kamar aparmentku, aku tak ingat para staff di tempatku bekerja yang sinis dan kerap menjauh dariku karena ‘aura gelap’ bahkan sepertinya aku tak ingat diriku, aku tak ingat siapa aku ini, aku tak ingat apakah aku ini. Aku hanya merasa seperti butiran pasir yang tertiup angin dan terbuai diudara oleh pusaran suara Arya, rasanya aku ingin seperti itu selamanya. Sebuah dorongan dari belakang menyadarkanku dan teriakan penonton didekatku semakin kencang, aku menyadari apa yang terjadi, Arya berdiri didekatku. Napasku seperti tercekat, aku bisa melihat dengan jelas wajah Arya yang penuh semangat dan matanya yang berbinar karena pantulan gelombang emosi haru dari penonton. Arya membungkuk dan mengajak tos beberapa penonton yang ada didekatku lalu tibalah giliranku. Aku merasakan tepukan tos yang tegas dan penuh lonjakan euphoria berapi – api yang menjilat tanganku sehingga aku merasakan hentakan semangat membara yang langsung menjalar ke tubuhku. Itu membuatku mengikuti lantunan teriakan Arya, tidak peduli teriakanku fales, pecah atau terdengar rusak tapi aku merasakan keropeng busuk dari luka masa laluku keluar melalui itu. Aku merasa disembuhkan dan aku berharap itu permanen.

Lagu – lagu dibawakan Svaranala nyaris tanpa jeda, Arya hanya berhenti sebentar sambil berinteraksi dengan penonton, hanya satu menit lalu dia melompat dan berteriak lagi lalu tiba di lagu terakhir dalam set list. Lagu dengan beat pelan tapi dengan lirik yang menyakitkan, seperti ada bilah es tak terlihat membentuk setiap kata pada lirik itu. Itu mendinginkan hatiku yang luka seolah dijahit dengan benang dingin dan ditarik oleh jarum tajam yang menyembuhkan. Arya berlutut didekatku dan membuat tangan – tangan penonton teracung berusaha menggapainya. Aku terbelalak melihat itu namun tanganku tak kuasa terangkat seperti yang lainnya. Itu karena Arya menatapku, dia sungguh melihatku. Tatapan matanya seolah bukan melihat mataku tapi apa yang ada didalam hatiku. Dia melantunkan lirik kelamnya dengan tangan kiri mengenggam mic dan tangan kanan terjulur ke arahku. Penonton disekitarku langsung menyambarkan tangannya dan tos ke tangan Arya yang terjulur itu tapi setelah itu tangan itu tetap disana, seolah menungguku untuk meraih itu.

Aku yang seperti terpaku, susah payah mengangkat tanganku. Awalnya diliputi keraguan apakah dia sedang menunggu tanganku atau itu hanya ilusi yang diciptakan otakku atas sesuatu yang aku inginkan namun aku menjadi yakin karena matanya terus menanatapku seperti mengajakku melompat dan pergi entah kemana. Aku menurut, akhirnya tanganku meraih tangannya dan menggenggam itu dengan erat.

“Kau harus kuat.” Serunya lantang melalui mic dan menyatu dengan rhythm yang sedang berlangsung. Apakah dia mengatakan itu kepadaku? Iya, karena dia mengatakan itu sambil menatapku, tidak, menatap hatiku. Tubuhku terasa melebur, mulutku tak dapat berucap, hanya mataku yang sanggup berteriak terima kasih. Seolah Arya mengerti, dia mengangguk kepadaku lalu dia melompat kembali ke tengah panggung.

Aku masih tercekat dan terpana pada apa yang baru saja terjadi. Arya melihatku dan dia tahu apa yang aku rasakan. Aku seperti buku yang terbuka di matanya, huruf-huruf rusak yang tertoreh pada itu terbaca olehnya.

Aku bukan aku. Aku lepas dari badanku. Aku melebur menjadi hati yang meledak menjadi deburan pasir. Setiap butirnya terayun – ayun dalam diudara dan terkurung dalam genggaman Arya.

Aku hilang.

Dan mungkin itu yang aku inginkan.

 

           

Selepas konser aku dan Reza duduk sejenak di bazar merchendize yang ada di venue konser. Disitu ada bangku - bangku besi panjang yang boleh digunakan penonton untuk berisitirahat.

“Gila Bay, gak nyangka ya Arya bisa begitu ke kamu. Mimpi apa kamu semalam?” Tanya Reza.

Aku hanya tersenyum tipis sambil menatap tanganku. Masih ada sisa rasa genggaman erat Arya disitu. Rasa itu tidak mau hilang seolah ingin tetap meninggalkan jejak tak terlihat yang tak ingin lekang olah waktu. “Za, aku mau bertanya kepadamu?” tanyaku sambil tetap menatap tanganku.

“Ada apa?” kata Reza dengan semangat yang masih tersisa walaupun tubuhnya terlihat lelah.

“Apa luka masa laluku terpancar seperti sinyal ponsel yang memberitahu lokasi bagian mana yang sakit pada tubuhku? Bagaimana kau melihat itu padaku?” Tanyaku sambil tetap melihat tanganku.

Reza tampak berpikir sejenak lalu menjawab, “Umm…ya aku bisa melihat itu, tapi aku yakin itu karena aku sudah kenal kau dengan baik. Jika orang lain yang belum kenal atau tidak terlalu dekat mungkin hanya melihat kau sebagai pemurung yang mereka sebut dengan ‘aura gelap’ yang biasa orang –orang dikantor katakan.”

“Jika begitu kenapa Arya bisa tahu apa yang aku rasakan? Padahal dia hanya menatap mataku?” Aku masih penasaran.

“Entahlah, mungkin karena Arya sudah melewati banyak cobaan di masa hidupnya sehingga dia tahu dan hapal seperti apa tatapan mata seseorang yang…yang…mungkin…kehilangan pegangan atau…tersesat, aku tak tahu istilahnya, itu tebakanku saja, kau seperti satu frekeunsi dengannya.”

“Apakah aku setersesat itu dimatanya? Atau bagaimana menurutmu?”

“Bay, gak perlu dipikirkan lebih dalam. Intinya Arya mengerti dengan orang – orang yang seperti itu, dia mau memberi semangat untuk bangkit dengan lagu-lagunya. Kejadian tadi cukup langka untuk bisa terjadi hanya dengan pertemuan singkat didalam konser, aku bangga padamu.” Aku tersenyum mendengar itu. Reza sungguh sahabat yang mengerti apa yang aku rasakan. Aku beruntung bisa mengenalnya.

Setelah cukup berisitirahat sejenak kami beranjak ke area bazar. Lampu-lampu tenda masih menyala, sebagian penjaga sibuk membereskan barang dagangan mereka. Aku melangkah pelan, tidak sepenuhnya sadar kemana arah kaki membawaku. Rasanya seperti bangun dari mimpi panjang, tapi belum sepenuhnya kembali ke tubuhku.

Lihat selengkapnya