Before the Silence

Renja Permana
Chapter #4

Chapter 4

"Dalam senyumnya aku temukan langit yang tenang, di ujung pensilku gemetar cinta yang belum aku pahami."

***

“Keren banget Bay, kalo aku jadi kamu kayaknya aku gak akan cuci tangan seminggu,” kata Cania setelah aku ceritakan apa yang terjadi saat konser.

Reza menimpali, “Iya habis itu gudikan tangannya.” Mereka berdua tertawa, aku tersenyum kecil, senang rasanya bisa bercengkrama riang dengan sahabat. Efek konser itu sungguh membawaku ke sebuah momen baru dimana rasanya hidupku terasa lebih terang bahkan aku mau di ajak makan sepulang kerja oleh mereka di warung mie ayam yang terkenal pedas. Aku tidak terlalu kuat dengan makanan pedas tapi karena suasana hatiku sedang bagus maka aku berakhir dihadapan semangkuk mie ayam pedas level 3 yang baru seperempatnya kumakan.

“Blehh , level 3 saja sepedas ini, apalagi level 5 punyamu,” kata Reza yang kepedesan sambil menunjuk mangkok mie ayam Cania yang sudah hampir habis.

“Pedas itu dinikmati dengan tenang, rasakan setiap ledakan biji cabenya, maka kau akan sampai di awang-awang. Tuh lihat Bayu, pedas mie nya level 3 juga tapi dia pasrah dengan tenang,” jawab Cania seperti sedang membaca puisi tentang cabai dan reza menghabiskan gelas ke 3 air es nya.

“Bay, tumben kamu kuat makan pedes,” panggil Reza namun suaranya seperti terdengar dari jauh, tidak cukup menjangkau indera pendengaranku. Aku fokus pada layar ponselku di tangan kiriku dan sumpit mie ayam ditangan kanan dengan mie menggantung, menunggu apa mereka akan masuk ke mulutku atau mendingin disitu.

“Bay,” sayup –sayup lagi aku mendengar suara Reza tapi aku mengabaikan itu. Mataku tertuju pada video baru dari Dila yang diposting di akun Instagramnya. Dila mempromosikan kaos di stand nya pada event yang ia hadiri hari ini. Aku tak bisa melepas mataku dari senyum manisnya.

“Bayu.” Kali ini Cania yang memanggil dengan suaranya yang lantang maka aku tersadar dari apa yang aku lamunkan.

“Apa?” tanyaku yang tidak mengetahui apa yang sejak tadi mereka bahas. Ponsel masih di tangan kiriku dan sehelai mie ayam masih menggantung di sumpit di tangan kananku.

“Bay, dari tadi kamu ngeliatin apa? Serius amat,” tanya Reza yang sepertinya melihat raut wajahku yang tampak tidak menyadari pembicaraan mereka sejak tadi.

Karena aku sungguh tidak mendengar itu maka aku menggeleng dengan polos dan memasukan sehelai mie tadi ke mulutku dengan sumpit. Aku menjawab, “Sorry, aku tadi gak dengar.”

Cania berkata kepada Reza, “Bayu fokus dengan ponselnya mungkin itu yang menyebabkan dia tidak kepedesan. Za, kau bisa coba itu supaya kau bisa menghabiskan mie ayammu.”

Sepertinya kurang tepat namun sedikit mendekati, aku tidak merasa kepedesan karena sejak tadi aku teralihkan dengan senyuman Dila di layar ponselku.

“Ah itu tidak berpengaruh padaku. Rasanya aku tidak bisa menghabiskan ini,” kata Reza sambil meletakkan sumpit di mangkoknya. “Bay, sejak tadi kau melihat apa di ponsel? Sepertinya seru.”

“Oh, aku sedang melihat – lihat kaos original merch yang lagi diskon. Siapa tahu ada yang cocok,” kataku sambil memperlihatkan layar ponselku pada mereka berdua tapi sepertinya mereka menangkap sesuatu yang berbeda.

“Itu bukannya cewek yang kemarin ya?” tanya Reza yang memicingkan mata melihat layar ponselku, secara reflek aku mematikan layar ponsel dan menyimpan itu kembali ke saku celanaku.

“Kalian ketemu cewek itu dimana?” tanya Cania dengan polos dan bingung. Baru saja aku mau menjawab tapi reza sudah lebih dahulu berkata dengan semangat, “Kita ketemu cewek itu di stand merch setelah konser kemarin.” Reza beralih kepadaku dan bertanya, “Kau sudah tanya namanya?”

Entah kenapa aku merasa wajahku memerah, “Sudah. Namanya Dila. Dia bekerja di produsen design kaos yang bekerjasama dengan promotor konser jadi dia bisa info kalau ada diskon lagi,” jawabku agar mereka tidak curiga kenapa sejak tadi pikiranku teralihkan.

“Kamu mau beli kaos lagi?” Tanya Reza lalu tiba-tiba wajahnya berubah seperti habis memergokiku melakukan sesuatu.

“Apa?” Aku tertawa gugup.

 “Hmmm…sepertinya aku paham,” kata Reza sambil mengangkat alis.

“Paham apa?” tanyaku tertawa. Sekarang aku yakin Reza tahu apa yang aku pikirkan.

“Setelah sekian lama akhirnya hatimu terbuka, aku bangga padamu Nak. Lanjutkan Nak, dia cantik,” jawab Reza dengan dramatis.

Cania yang tidak paham menimpali, “Oh Dila itu pacarnya Bayu?”

“Bukan.” “Belum.”

Aku dan Reza menjawab berbarengan, aku menjawab bukan dan Reza menjawab belum. Cania semakin bingung, “Aku tidak mengerti apa yang kalian maksud tapi nasihat dariku sebagai wanita, jangan biarkan perasaannya menggantung kau harus katakan bagaimana perasaanmu padanya.”

“Perasaan apa? Aku baru bertemu dengannya kemarin,” kilahku berusaha mengelak terkaan mereka.

“Oh Bayu, perasaan itu akan muncul seiring berjalannya waktu. Jika hatimu tertambat padanya segeralah berlabuh sebelum habis waktu,” kata Reza dengan nada seperti sedang membaca puisi.

“Apaan sih Za? Gak cocok, bibirmu tuh jontor kepedesan,” kata Cania sambil menepuk pundak Reza lalu kita bertiga tertawa. Sungguh aku belum pernah tertawa selepas ini sebelumnya, rasanya seperti menemukan bagian diriku yang lama menghilang. Aku tidak terbiasa tertawa seperti ini tapi hari ini rasanya dunia membolehkan.

Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Biasanya aku gelisah karena khawatir pesan itu dari ibu tiriku yang meminta uang tapi kali ini aku seperti penasaran siapa yang mengirim pesan dan ingin cepat-cepat membaca pesan itu. Aku pun heran dengan perubahan diriku ini. Aku membuka ponselku dan melihat pesan masuk ke akun Instagramku. Dari Dila.

Hatiku berdebar ketika membuka pesan itu dan membaca pesan yang memancarkan keceriaan walaupun aku tak bisa melihat wajahnya.

Mas Bayu, aku tadi lihat – lihat profil IGmu, kamu bisa bikin lukisan portrait ya?

Entah kenapa aku seperti bisa mendengar suaranya walaupun aku yakin dia ada di puluhan kilometer dari sini.

Tanpa ragu aku menjawab walau dengan jempol gemetaran,

Iya aku bisa.

Jawaban yang singkat karena aku tak pandai berkata – kata.

Aku mau pesan lukisan portrait. Lukisan wajahku.

Jantungku berdebar makin tak karuan. Pesannya sederhana, tapi entah mengapa aku merasa seperti sedang melangkah ke wilayah yang belum pernah aku sentuh sebelumnya- sesuatu yang hangat, asing dan nyaris rapuh.

Boleh. Black and white atau berwarna? Dengan pensil warna atau cat air?

Umm…sebenarnya aku kurang paham. Menurutmu mana yang lebih cocok?

Lihat selengkapnya