“Kau turun pelan dari cahaya. Dan tiba-tiba duniaku penuh warna.”
***
Hari-hari berlalu bagai kelopak bunga yang terhempas angin—ringan, tak pasti, tapi menyimpan harapan. Hatiku meleleh mengikuti alur kabur dari rasa yang mungkin orang-orang sebut cinta—meski aku belum benar-benar memahaminya. Hatiku menari-nari dalam alunan kata – kata penyemangat yang terlontar dari mulut sang pencuri hati. Aku mencoba mengikuti dan membiarkan diriku terbawa arus—kemana hatiku yang dicuri ini akan dibawa pergi.
Komunikasiku dengan Dila semakin intens, walaupun masih berupa pesan text atau chat online tapi itu cukup untuk membawa perubahan pada suasana hatiku. Aku tak lagi mengalami mimpi buruk tentang kenangan masa kecilku. Kata-kata tajam dari kedua orangtuaku yang terkadang muncul dalam ingatan seakan terpendam seperti api dalam sekam yang enggan tersulut kembali. Di kantor aku merasa tidak semurung biasanya, terbukti dengan beberapa rekan kerja yang berseberangan meja denganku tidak ragu bicara denganku.
Ketika bercermin, aku melihat perubahan jelas pada diriku. Wajahku yang biasanya murung, jarang senyum dan terlihat seperti zombie, kali ini terlihat ada rona merah pada kedua pipiku dan membuatku terlihat hidup. Jika perasaan ini membuatku menjadi ‘normal’ seperti orang – orang diluar sana, maka aku ingin ini berlangsung selamanya. Biarkan virus ‘kasmaran’ ini menguasai tubuhku hingga tak bersisa.
Di tengah kebahagiaan yang perlahan tumbuh ini, semesta seolah ikut berkonspirasi memberi peluang kecil yang bisa menjadi momen besar. Siang itu, saat sedang menyeduh mie instan cup di pantry kantor, Cania menghampiriku dengan dua lembar kertas kecil di tangannya.
“Bay, aku ada 2 tiket bioskop untuk malam ini tapi aku lagi sibuk. Aku harus mempersiapkan proyek iklan untuk klien di Bali, kayaknya aku bakal lembur lagi, jadi tiket ini buat kamu saja,” Cania tanpa basa basi menyodorkan 2 tiket tersebut langsung ke tanganku.
Aku memeriksa tiket tersebut dan melihat jadwal filmnya. “Filmnya untuk malam ini?” tanyaku sambil memeriksa tiket tersebut dengan seksama seolah itu benda antik museum.
“Iya. Di bioskop Lotte Shopping Mall Avenue. Pokoknya aku gak mau tiket itu jadi mubazir, Okay,” katanya. Aku mengangguk lalu dia bergegas keluar dari pantry dengan tergesa –gesa, dia sangat sibuk hari ini.
Aku menyimpan tiket itu di saku kemeja dan menyantap mie instan sambil menghadap jendela besar berlapis kaca tebal yang menyuguhkan pemandangan gedung- gedung pencakar langit namun pikiranku tertuju pada tiket tadi. Awalnya aku bingung mau mengajak siapa tapi kemudian munculah nama yang paling sering ada dalam pikiranku. Dila.
Tanganku sempat gemetaran saat membuka kontaknya di layar ponsel. Rasanya seperti mencoba melangkah di atas tali, tinggi dan rapuh. Tapi entah darimana datangnya, ada dorongan kuat dalam diri yang berkata: Sudah waktunya. Dan untuk pertama kalinya, aku menelepon Dila.
Jantungku berdebar-debar seiring dengan nada panggil yang tersambung, harap cemas menanti.
“Iya mas Bayu,” jawab Dila dari seberang telepon. Suaranya bagaikan denting lonceng yang berbunyi tertiup angin. Bening dan syahdu.
Rasanya jantungku copot, aku bahkan memegang dadaku untuk memastikan jantungku masih ada pada tempatnya dan masih berdetak. Aku memberanikan diri bersuara, “Dila, kamu lagi istirahat?”
“Iya, aku lagi makan siang bareng teman-temanku. Mas Bayu udah makan?”
“Ini lagi makan. Mie instan cup.”
“Mas Bayu suka banget mie instan ya?”
“Iya soalnya ini praktis dan bisa dimakan sambil mikir.”
“Oh gitu, emank mas Bayu lagi mikirin apa?”
Aku sempat bingung mau jawab apa tapi aku pasrah dan membiarkan hatiku yang menjawab, “Mikirin ini, aku punya 2 tiket bioskop. Aku mau ngajak kamu nonton nanti malam, apa kamu bisa?” Ini bukan gaya bicaraku yang biasanya. Bukan Bayu yang kikuk dan penuh keraguan. Aku seperti menjadi diriku dengan versi yang berbeda—lebih berani, lebih jujur.
“Umm…boleh, aku bisa kok. Dimana?”
Aku bersyukur tidak mendengar nada keberatan atau enggan pada suaranya, Dila terdengar antusias. “Lotte Shopping Mall Avenue. Aku harap kamu suka film thriller.”
“Itu genre film favoritku, aku malah kurang begitu suka dengan romance atau komedi.”
“Oh syukurlah kalau pas dengan selera kamu. Aku tunggu di lounge bioskop jam 7 ya.”
“Okay, makasih ya mas Bayu.”
“Sama-sama.”
Aku menutup telepon dan bernapas terengah – engah, sepertinya aku menahan napas sejak tadi dan sekarang serasa oksigen baru beredar kembali dalam darahku. Ternyata tidak seburuk itu memulai pembicaraan di telepon. Dan kekhawatiranku tentang kehabisan topik atau tidak bisa berkata - kata, terbukti tidak perlu. Mungkin karena hatiku yang sedang jatuh cinta telah menjadi juru bicara yang jauh lebih berani daripada logikaku sendiri.
Aku kembali menatap layar ponselku.
Dila sudah setuju.
Aku mengajaknya nonton.
Aku. Bayu. Mengajak perempuan pergi nonton. Rasanya aku tak percaya tapi ini nyata.
Aku bersandar di tembok sambil menyeruput mie. Suasana pantry yang lusuh ini mendadak terasa berbeda. Lebih terang, lebih dekat. Jantungku masih berdetak tidak karuan, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena harapan.
“Bayu,” panggil Reza yang tetiba muncul di ambang pintu pantry—membuatku kaget dan menoleh kearahnya dengan mie masih menggantung di mulutku.
“Nanti malem ikut ke Matraman, yuk,” katanya dengan santai. “Sarung jok modif mobilku sudah jadi. Mau dipasang sekalian.”
Aku terdiam sejenak. Ada rasa gak enakan menggelayut. Biasanya aku tak pernah menolak ajakan Reza-selain karena kami memang sering bareng, juga karena…ya, aku memang jarang punya acara sendiri. Tapi kali ini berbeda. Aku punya rencana. Dan aku agak sungkan untuk menyampaikannya.
Aku menelan mie tanpa dikunyah lalu dengan berat hati mengatakan, “Sorry Za, ntar malam aku ada acara.”
“Wah tumben. Ada acara apa?” Reza mengangkat alis.
Aku menggaruk tengkuk, pura – pura santai. “Umm…aku mau nonton di daerah Kuningan.”
“Nonton?” Nada Reza terdengar bingung. Wajar. Selama dua tahun mengenalku, belum sekalipun dia mendengar aku ke bioskop—apalagi sepulang kerja.
“Sama siapa?”
Aku baru membuka mulut untuk menjawab tapi reza berseru lebih dulu, matanya membulat dramatis.
“Ooooooohhhh! Aku tahu!” katanya sambil menunjuk – nunjuk ke arahku, lalu tertawa kecil. “Ciye-ciye, asik nih. Kabarin ya kalau sudah jadian. Oke deh, have a nice date.”
Tanpa menunggu balasan dia melenggang keluar dari pantry, meninggalkanku yang masih berdiri terpaku dengan wajah memerah. Entah karena malu, atau karena hatiku sedang menyala-nyala.
Diusiaku yang sudah lewat seperempat abad ini, aku merasa canggung datang ke bioskop. Selain karena tidak terbiasa, atmospherenya sangat berbeda dengan pembawaanku yang suram. Namun kali ini sepertinya aku berbaur dengan semangat anak muda dan mungkin orang-orang normal lainnya yang bergairah dalam semangat hidup mereka. Sungguh aku seperti melihat dunia dengan mata yang baru.
Aku sepertinya datang terlalu awal. Jam masih menunjukan pukul 18.49 ketika aku duduk di lounge bioskop, tepat di depan poster film yang akan kami tonton nanti malam. Lampu – lampu redup memantul dan terserap oleh lantai yang tertutup karpet motif khas bioskop ini. Suara AC pelan berpadu dengan gumaman obrolan para pengunjung lain. Tapi di telingaku, semuanya terdengar seperti bisikan yang jauh dan tak penting.
Biasanya, kalau aku sedang menunggu klien—entah untuk pitching design atau meeting revisi—aku bisa duduk dengan tenang sambil membuka laptop atau menggambar sketsa di buku kerja. Tapi kali ini berbeda. Tanganku dingin. Lututku gemetar. Dan jam di ponsel terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca sinopsis film yang terpampang besar di layar LED. Tapi setiap huruf seperti melompat – lompat di mataku, tidak ada satu pun kalimat yang masuk ke kepala. Fokusku terlempar ke arah escalator—menunggu apakah langkah Dila akan muncul dari sana, dengan senyum manis dan tatapan lembutnya.
Pikiranku melayang. Seandainya Dila membatalkan? Seandainya ini semua hanya basa – basi yang dia setujui karena sungkan? Seandainya aku salah menafsirkan sinyal?
Aku merogoh saku dan menggenggam tiket kertas yang mulai lecek di tanganku. Ada sensai aneh di dada—bukan rasa takut seperti saat kecil dulu menghadapi ayahku, bukan pula rasa gelisah saat menghadapi komentar pedas ibu tiri ku. Ini semacam gugup yang manis, seperti menunggu surat dari seseorang yang diam- diam kamu harap menyimpan perasaan yang sama.
Aku menggosok-gosokan kedua telapak tanganku untuk meredakan perasaan gugup ini selain itu juga untuk sedikit menghangatkan kedua tanganku yang dingin. AC di lounge bioskop ini seperti menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Aku mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Aku menggelengkan kepala, mengusir segala bayangan buruk yang tadi terlintas dalam benakku.
Lalu mataku terpaku pada sosok berambut panjang bergelombang yang tampak tak asing datang masuk ke lounge bioskop. Napasku tercekat melihatnya, jantungku serasa copot ke kaki dan jari jemariku mati rasa.
Dila menepati janjinya. Dia datang tanpa ada ekspresi terpaksa pada wajahnya. Aku hanya melihat wajahnya yang halus, rambutnya yang bergelombang panjang disampir ke bahu memperlihatkan lehernya yang jenjang, senyumnya yang manis dengan bibirnya yang ranum berpoles lipstik warna mauve—sepertinya aku menemukan warna favorit baruku—yang serasi dengan blus yang dia kenakan.
Aku membayangkan bertemu dengannya seminggu lagi saat lukisan portraitnya jadi, namun aku tak menyangka bisa bertemu dengannya secepat ini.
“Mas Bayu, udah lama nunggu?” Tanya Dila dengan suaranya yang bening seperti tetesan embun pagi.
Aku menelan ludah dan menjawab dengan gugup, “Gak kok, aku juga belum lama sampai.”
“Filmnya di teater berapa?” Dila tetap tenang sedangkan aku disini grogi dan takut salah bicara.
“Teater 2. Filmnya jam 7.15. Kamu udah makan?” Tanyaku secara spontan, membiarkan hatiku yang berbicara mengambil alih.
“Umm…belum,” jawab Dila. Sejenak kita hanya berdiri canggung di lounge ini hingga aku menyadari bahwa aku harus menawarinya sesuatu. Sungguh aku belum terbiasa dengan ini.
“Makan dulu yuk di café bioskop,” aku berharap tidak salah bicara dan Dila mau menerima ajakan itu.