“Setiap garis kutarik, kau hadir dalam sunyi—
Tapi benarkah kau datang, atau hanya lukisan dari mimpi?”
***
Aku duduk di dalam bioskop yang sepi. Barisan kursi kosong terhampar seperti barisan nisan. Tapi tidak ada film, hanya layar putih yang berkedip, seperti napas yang tersendat.
Waktu terasa berhenti atau mungkin aku masuk ke dimensi yang tidak memerlukan waktu.
Dari atas, terdengar suara. Aku menengadah dan melihat awan mendung kelabu nyaris gelap yang berputar-putar dengan angkuh menutup sisa langit yang bersusah payah untuk tetap bercahaya.
Aku mencari sumber suara itu dari balik awan-awan itu. Suara seperti orang yang bergumam namun tidak jelas apa yang diucapkan. Lalu suara itu berubah menjadi suara tawa. Tawa yang kukenal — mirip Dila.
Tapi bukan.
Tertawa, tapi seperti diputar mundur.
Lembut, namun tajam.
Suara itu semakin terdengar keras dan terdengar menakutkan—berputar – putar di atasku, namun aku tak bisa melihat wujudnya dan tak bisa menemukan sumbernya.
Tawa itu berhenti lalu berganti dengan suara yang sedang mengatakan sesuatu namun lagi-lagi itu dibalik. Terdengar seperti bahasa asing dari neraka.
Hentikan.
Aku merasa berteriak kencang sambil menutup kedua telingaku namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku merasa seolah suara itu tertinggal dari waktu, dan aku sedang mencarinya.
Bangku di sebelahku bergerak sendiri. Seseorang duduk di sana — aku tahu itu. Tapi setiap kali aku menoleh, bangku itu kosong.
Layar di depanku berubah. Kini tampil dua sosok bergandengan tangan. Wajah mereka kabur, seperti dilukis dengan jari basah di atas kaca berembun.
Aku bangkit, berjalan ke layar, ingin menyentuh mereka.Namun saat jariku menyentuh permukaan layar, ia berubah jadi air.
Gelombangnya menciptakan pantulan — wajahku sendiri.
Tapi mataku...kosong.
Tidak ada warna.
Aku bangun dengan napas tercekat. Kamar masih gelap, lagu Svaranala sudah berhenti. Hanya lampu meja kecil yang menyala lemah, menerangi kertas sketsa yang belum selesai.
Mataku menyapu ruangan, mencoba memastikan bahwa aku sudah kembali atau tak ada bagian diriku yang tertinggal di dunia mimpi. Tapi sisa tawa itu—tawa yang terbalik dari mimpi itu, sangat membekas di hatiku. Meninggalkan jejak suram yang menakutkan di telingaku.
Aku bergidik dan memeluk tubuhku dengan kedua lenganku. Kulitku merinding dan berkeringat. Aku menarik napas dan menghembuskannya untuk menenangkan diri.
Tenanglah.
Itu cuma mimpi.
Jangan sampai ini mempengaruhi mood ku hari ini.
Aku mengecek jam di layar ponselku. Jam 05.01 pagi. Aku bergegas mandi lalu berdiri di depan cermin. Air masih menetes di ujung rambutku, dan handuk menggantung di leher. Wajahku di cermin tampak lelah, tapi aku paksa tersenyum.
Mimpi itu masih menempel di ujung pikiranku, seperti sisa kabut yang belum sepenuhnya hilang. Suara tawa yang dibalik itu serasa menusuk sanubariku yang paling dalam, bahkan mimpiku tahu titik paling rapuhku.
Aku menghela napas untuk menenangkan diri dan kuputuskan untuk membuat kopi. Biasanya aku merasa sedikit lebih tenang dengan meminum kopi. Selagi menikmati kopi sambil mendengar playlist, aku mendengar bunyi notifikasi dari ponselku. Aku mengambil ponselku di sebelah buku sketsaku yang terbuka dengan pensil tumpul di atasnya. Aku membuka layar. Ada pesan dari Dila.
Pesan pertamanya muncul dengan polos:
Pagi. Maaf ya kalo aku terlalu banyak ngomong kemarin. Tapi…senang bisa nonton bareng kamu.
Ada jeda. Lalu satu pesan lagi muncul. Sebuah foto.
Foto sketsa dua kursi bioskop dengan dua figure stickman tanpa wajah yang bersisian. Gambar itu seperti dikirim terburu-buru tapi terasa jujur.