Before the Silence

Renja Permana
Chapter #7

Chapter 7

“Kutatap hangat yang tak bisa kuraih, Mungkinini cinta—atau delusi yang manis.”


Lukisan portrait Dila rampung tepat waktu sesuai dengan tenggat waktu yang aku janjikan. Lagi-lagi aku berhasil melakukan sesuatu yang tidak mengecewakan seseorang. Ini titik dimana aku merasa menaiki satu per satu anak tangga dan perlahan menggapai cahaya.

Aku mengamati sekali lagi lukisan itu. Aku cukup puas dengan hasilnya. Sapuan warna lembut memberi rona cantik pada wajah Dila, membuatnya terlihat ringan, anggun, seperti bunga yang hanya mekar saat tak ada yang melihat. Aku berharap Dila menyukai hasilnya. Jika dia tidak menyukainya, maka akan kusimpan ini dalam lembaran kenangan yang berkesan dalam hidupku.

 Aku membungkus lukisan itu dalam kertas coklat dan plastik bening lalu aku masukan ke goodie bag beserta boneka flannel itu. Goodie bag berwarna pink dengan aksen pita kecil manis di ujungnya. Ini pertama kalinya untukku membungkus paket hasil lukisan portrait agar terlihat menarik, bahkan aku harus mempelajari tutorial itu di Youtube.

Sebelum berangkat, kupastikan semua terlihat rapih. Aku berdiri di depan cermin dan memeriksa penampilanku. Rambut poni samping acakku terlihat natural. Kumis dan jenggotku sudah kucukur rapih karena terlihat agak panjang belakangan ini. Kemeja flannel merah dengan dalaman kaos abu-abu tampak licin tak ada bekas lipatan. Celana jeans hitam tanpa noda serta sepatu Converse Chuck Taylor hitam.

Kami janjian di sebuah café di Kemang, yang menurut Dila punya suasana mirip galeri seni kecil. Aku datang lebih dulu, seperti biasa. Aku duduk di meja dekat jendela yang menyajikan pemandangan malam suasana jalan Kemang Selatan yang teratur. Tempatnya tidak terlalu ramai. Lampu gantung berwarna kuning redup menggantung rendah dari langit-langit yang tinggi. Sepanjang dinding terdapat lukisan-lukisan ukuran sedang yang bertema romantisme sehingga menambah kehangatan suasana ini. Di pojok ruangan ada, ada sebuah piano upright dengan bangku kayu tua di depannya. Tidak ada yang memainkan, tapi penampilannya seperti mengundang.

Aku meletakkan goodie bag pink itu di meja. Aku mau Dila melihat ini lebih dulu.

Tak lama, Dila datang dengan senyum yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tulus dan manis, tapi tak sepenuhnya bisa kuterjemahkan.

Dila memakai cardigan biru muda dengan kerah renda. Kaos putih bersih di bagian dalam dengan rok renda sebetis yang terlihat pas padanya. Rambutnya disampir ke bahu seperti waktu di bioskop dan lipstik warna mauve yang membuat mataku terpaku padanya.

Aku terpesona melihatnya

Seperti cahaya lembut yang merengkuh sukma.

“Mas Bayu,” sapanya dengan ceria, menyadarkanku dari buaian pesonanya. Matanya langsung tertuju pada goodie bag yang sudah aku siapkan. “Itu apa? Sudah jadi ya?”

Aku mengangguk, “Aku gak tahu kamu bakal suka atau nggak. Tapi…ini yang bisa aku lakukan.” Aku berusaha agar tidak kikuk lagi ngobrol dengannya.

Dila membuka goodie bag itu perlahan. Matanya menatap lukisan itu dengan serius lalu diam.

“Ini…” katanya pelan. “Ini aku, tapi…kayak bukan aku, tapi ini aku…” matanya berbinar dan dia seolah kehabisan kata untuk mendeskripsikan apa yang dia rasakan pada lukisan itu.

“Itu kamu di mataku,” jawabku dengan lancar tanpa keraguan. Aku tidak bermaksud menggodanya tapi sungguh itu jawaban jujur dari dalam hatiku.

Pipi Dila memerah lalu dia tersenyum malu-malu dan menunduk, “Makasih mas Bayu, aku suka lukisannya.” Masih menunduk malu-malu, Dila memeriksa kembali goodie bag itu dan menemukan boneka flannel yang aku belikan.

“Iiiiihhh…lucu banget sih,” katanya sambil memeluk boneka kecil itu. “Makasih banget ya mas, aku suka semuanya.”

Hatiku bergejolak mendengar itu. Aku senang Dila menyukai lukisan dan boneka itu. Aku berhasil lagi membahagiakan seseorang.

“Mas Bayu, beneran lukisannya gratis?” tanya Dila dengan penasaran. “Bagus kayak gini lho.”

Aku tersenyum lalu menarik nafas. Ini mungkin waktunya. “Iya benar,” kataku. “Itu spesial buat kamu.”

Aku menunduk sesaat, mengumpulkan keberanian, lalu melanjutkan, “Lukisan itu…bukan cuma portrait kamu. Itu caraku bilang kalau hatiku sudah jadi milikmu.”

Mendengar itu Dila terdiam. Pipi yang tadi sudah merah, kini terlihat makin merona. Dia menutup wajahnya dengan tangan lalu tertawa kecil.

“Mas Bayu…” katanya pelan, seperti tidak tahu harus berkata apa. Tapi sorot matanya…sorot itu menjawab lebih dari cukup.

Aku berhasil menyampaikan apa yang kurasakan dengan lancar, tanpa ada tingkah kikuk seperti saat di café bioskop. Hatikupun terasa meleleh karena pancaran hatinya yang berbunga-bunga karena pengakuanku tadi.

Aku masih menunggu reaksi selanjutnya dari Dila yang wajahnya masih merah. Dia terlihat semakin cantik dengan rona alami di pipinya seperti itu. Dia menunduk dengan senyum kecil lalu dia mencoba mengatakan sesuatu.

Lihat selengkapnya