“Aku mencintai hidup—
dengan cara yang hanya bisa dipahami oleh yang pernah tenggelam.”
Getaran samar di bawah bantal membuyarkan gelap yang masih menggantung di pelupuk mata. Aku menggerakkan tanganku perlahan, mencari sumbernya tanpa membuka mata. Setelah beberapa detik, genggamanku menemukan ponsel yang bergetar pelan namun terus-menerus, seperti panggilan dari dunia nyata yang belum siap aku masuki.
Tanpa semangat dan meleset beberapa kali, aku menggeser ikon hijau di layar.
“Iya Za…” gumamku dengan suara parau, “Ini kan sabtu siang…”
Suara Reza di ujung telepon terdengar jernih dan tergesa-gesa. “Bay, file rangkuman meeting kemarin mana ya? Aku ditanya bu Dina dari tadi, katanya harus kirim sebelum jam 1.”
Aku memicingkan mata. Cahaya dari sela tirai menyakitkan seperti memaksaku untuk melihat kenyataan hidup. Aku menoleh pelan ke arah jam dinding—angka digitalnya menunjukkan pukul 12.43.
“File…?” gumamku, mencoba menarik sisa-sisa memori yang tercecer di antara sel-sel otakku yang masih tidur. “Belum aku kirim, ya?”
“Belum,” jawab Reza dengan cepat. Nada suaranya seperti di antara menahan kesal dan terburu-buru. “Aku kira kamu sudah kirim tadi malam.”
Aku memutar badan dan duduk perlahan. Gravitasi serasa menarik aliran darah dari kepalaku. Kepalaku berdenyut dan mataku pegal. Pusing.
“Sorry, Za…aku lupa,” jawabku pelan sambil memijit dahiku. Aku memicingkan mata karena mataku agak sakit, seperti otot atau syarafnya tertarik masuk ke dalam kepala. “Kamu sama bu Dina gak libur?”
Terdengar helaan nafas Reza di ujung telepon, “Aku libur, Bay. Ini saja aku lagi nyuci di rumah. Kamu tahu sendiri gimana bu Dina, dia kalo weekend tetap nanyain kerjaan.”
Jawaban Reza meresap masuk kedalam kepalaku, membuka ingatan-ingatan hari sebelumnya yang tertimpa di antara serpihan nada lagu Lithium.
Lithium?
Oh, lagu itu masih terngiang-ngiang dikepalaku.
“Bay, gimana?” Reza menyadarkanku dari lamunanku. Entah kenapa pagi ini tubuh dan pikiranku lambat bekerja sama. Tubuhku sudah bergerak tapi pikiranku terasa jauh. Sulit kuraih, seperti mencoba menggenggam kabut tipis yang enggan pergi.
Aku menutup mata sesaat, “Iya…iya, bentar aku kirim,” gumamku. Aku menjejakkan kakiku di lantai dan perlahan berdiri. Kepalaku terasa berat.
“Ya udah, kamu langsung kirim ke emailnya bu Dina, ya.” Setelah itu Reza menutup teleponya.
Aku menghela napas. Aku berjalan perlahan sambil berpegangan pada dinding seolah jika terlalu cepat, dunia akan bergoyang.
Aku mengisi daya ponselku dan meletakkan itu di meja gambarku. Aku menoleh dan melihat laptopku yang terbuka dengan lampu indikator powernya berkedip, seolah ikut mengingatkan bahwa realitas tak bisa terus ditunda.
Seketika cahaya terang memenuhi kedua mataku ketika aku menyalakan laptopku. Reflek aku memalingkan wajah dan terpejam. Mataku nyeri seperti terhujam jarum cahaya layar laptop yang aku tak ingat kenapa layar laptopku bisa seterang itu.
Aku mengusap kedua mataku. Aku agak menjauh dari layar sambil memicingkan mata, melindungi mataku sebisa mungkin dengan kelopak mataku. Tanganku meraih mouse lalu mengatur tingkat kecerahan pada layar. Aku turunkan tingkat kecerahan hingga mendekati minimal.
Aku bernafas lega ketika mataku mampu menyesuaikan diri. Aku segera membuka program dan mencari file yang dimaksud Reza.
Saat mataku menyapu deretan nama file-file yang tertera, huruf-huruf itu terasa kabur, seperti menolak menyentuh dunia nyata.
Aku mengusap lagi mataku lalu memicingkan mata mencari file tersebut. Dalam hati aku tertawa, ini cuma masuk angin atau tanda-tanda aku harus pakai kaca mata.
Setelah menemukan file itu dan kukirim ke email bu Dina, sebuah gelombang ringan seperti menyapu kepalaku—bukan sakit, tapi seperti berdiri terlalu cepat setelah duduk lama.
Ringan, tapi membuat dunia sedikit miring.
Miring?
Aku menutup mataku sejenak.
Sepertinya aku masuk angin.
Lagu Lithium masih berputar samar di kepalaku, seperti gema yang enggan pergi. Antara mimpi dan sadar, antara kemarin dan hari ini…semua terasa meleleh menjadi satu.
Denting ponsel tanda pesan masuk membuatku terlonjak kaget. Aku membuka layar ponsel dan melihat pesan masuk dari Dila.
Aku tersenyum. Melihat pesan Dila, seperti mendapat pertolongan pertama di saat seperti ini.
Mas Bayu baru bangun ya?
Aku mengangkat alis. Kok dia bisa tahu ya?
Baru saja pertanyaan itu mampir, ponselku kembali berdenting. Notifikasi pesan kedua dari Dila masuk.
Tebakanku bener kan? Feelingku bilang kamu baru bangun karena tadi malam kamu masih online jam 3.30, terus ngilang. Pasti kamu ketiduran dan bangun kesiangan.
Aku mengusap wajahku sambil tersenyum lemas. Aku baru ingat aku masih menatap layar laptopku jam setengah empat pagi—walaupun aku tak ingat apa yang aku kerjakan, aku ingat aku sambil mendengarkan lagu Lithium berulang-ulang. Seperti menunggu sesuatu dalam diriku yang tak kunjung kembali.
Jari-jariku menari pelan di layar ponsel
Kamu dukun ya? Kok bisa tahu jam segitu aku online?
Tak butuh waktu lama, Dila membalas
Bukan dukun, hanya wanita dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Btw, kamu baik-baik aja, Mas?
Pertanyaannya seperti peluru pelan. Aku terdiam sejenak.
Baik-baik saja?
Aku agak sulit menjawabnya. Aku tak ingin jadi alasan seseorang menjauh. Tapi aku yakin Dila tidak akan menjauh hanya karena aku mengalami masuk angin yang misterius ini.
Lagi gak enak badan. Kamu sendiri bagaimana?
Makanya jangan begadang. Minum obat sama teh manis anget terus istirahat. Aku lagi di Bogor sama ibu aku. Cepet sembuh ya mas Bayu.
Aku tersenyum lagi membaca pesan Dila. Pertolongan pertamanya berhasil, aku merasa dunia tidak miring lagi walaupun kepalaku masih berat.
Setelah menelan obat, aku meneguk perlahan teh hangat yang tadi aku buat. Rasa hangat langsung menyebar ke dalam tubuhku, membuat otot-otot tubuhku yang tadinya menegang menjadi rileks. Keringat dingin yang tadi membanjiri tubuhku perlahan menghilang, diganti dengan kehangatan yang membuatku tenang dan bersandar santai pada sofa. Denyutan di kepalaku berkurang dan mataku tidak terlalu sakit lagi.
Aku menyalakan tv dan mencari acara yang bagus namun hanya ada siaran News yang memberitakan segala kriminal absurd yang terjadi di Indonesia.
Aku benci berita kriminal, seolah hidupku tak cukup suram. Namun sekarang aku perlahan naik ke tangga cahaya dengan genggaman tangan Dila yang menuntunku. Sebuah perubahan hidup dari lembaran usang menjadi makna yang berarti.
Karena tidak menemukan siaran yang bagus, aku menyalakan Youtube dan memutar video konser Svaranala ketika mereka manggung di Jakarta tempo hari.
Dengan volume yang kunyalakan pelan, dentuman suara Arya cukup membuai diriku. Aku memejamkan mata, merebahkan diriku di sofa dan menikmati alunan gahar musik mereka. Lirik demi lirik yang dilontarkan Arya memanjakan telingaku dengan ungkapan perasaannya.
Dingin, suram dan tragis.
Aku semakin larut dalam liriknya hingga alunan musiknya menyatu dengan rasa kantuk yang datang dari obat yang tadi aku minum.
Aku tak menyangka diriku yang baru bangun beberapa saat yang lalu sudah mengantuk lagi karena obat. Mungkin karena aku meminum obat itu dengan perut kosong sehingga efeknya langsung bekerja.
Aku membiarkan tubuhku terbawa kantuk diiringi nina bobo suara Arya yang kelam dan riff gitar yang terdengar menohok hati.
Aku terdiam
Lalu gelap.
Seperti ada jeda kosong seperti aku menghilang sesaat dalam kabut hitam. Entah sesaat atau beberapa lama. Aku merasa seperti tidak ada.
Senyap.
Lenyap.
Hingga aku melihat kabut hitam yang mengelilingiku perlahan tersibak diiringi dengan suara sorakan dan gemuruh beat drum.