“Dalam dekapan senyumnya, waktu berhenti berjalan.
Di matanya, aku pulih sebagai insan.”
Seperti ini rasanya hati berbunga-bunga dan pikiran mabuk kepayang. Perlahan bangkit dari keterpurukan dan meraih cahaya. Aku merasa seperti menjalani dunia yang baru, dengan tubuh yang baru dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda.
Aku tidak gugup lagi di depan Dila. Apa yang aku ucapkan selalu mengalir lancar tanpa keraguan. Setiap yang aku lakukan, tidak mengecewakannya. Mungkin inilah yang selama ini aku butuhkan, seseorang yang bisa menuntunku kembali menjadi diriku sendiri—diri yang tanpa rasa bersalah atas luka yang pernah kubawa. Seseorang yang hadir bukan untuk memperbaiki tapi menemani langkahku agar tidak terasa berat dan tidak lagi merasa sendirian.
Hari ini aku ada kencan dengan Dila. Mengawali minggu siangku ini dengan lembar – lembar manis yang menghapus noda-noda kelabu dalam pikiranku. Rasanya seperti membuka buku baru—halaman demi halaman terasa ringan, penuh warna, dan menyenangkan untuk dijalani. Tidak ada lagi desakan waktu. Hanya ada tawa Dila yang menggema seperti lagu lama yang kutemukan kembali setelah bertahun-tahun hilang.
Aku janjian bertemu dengan Dila di dekat wahana bianglala yang terkenal itu di Dunia Fantasi, Jakarta. Aku pikir kencan di bianglala tidak terlalu lebay. Mungkin sedikit kuno, tapi ada sisi manis yang tak bisa dihindari—seperti potongan film lama yang tak pernah usang. Lagipula, ada sesuatu yang romantis dari perlahan naik ke udara bersama seseorang yang kamu suka. Seolah dunia mengecil di bawah, dan hanya kami berdua yang tersisa, mengambang di antara langit dan kenanangan.
Dila muncul dengan cardigan biru muda dan rok putih renda—pakaian yang sama dengan yang dia kenakan ketika kita kencan di café Kemang. Sekilas, aku seperti merasa dejavu, seolah waktu berputar kembali ke tempat yang sama. Tapi bukan hanya suasana yang terasa akrab…ada yang lain. Gerakannya, senyumnya, bahkan cara dia menyapa—semuanya nyaris identik.
Aku sempat merasa janggal, seperti pikiranku berjalan mundur. Tapi, sebelum aku sempat menggali lebih dalam, aromanya mengalihkan segalanya. Parfum vanilla lembut itu menyapa hidungku, seperti selimut hangat yang menarikku kembali ke saat ini.
Wangi itu—entah kenapa—berhasil menenangkan. Seolah tubuhku mengenali duluan, sebelum pikiranku sempat merespon. Aku tersenyum, mencoba menepis rasa aneh barusan. Mungkin itu pakaian favorit Dila dan dia ingin mengenakan itu di setiap sesi kencan kita. Mungkin juga aku yang terlalu senang, terlalu berharap waktu benar-benar bisa diulang. Atau mungkin, aku mulai membiasakan diri dengan hidup yang tidak logis—selama ada Dila di dalamnya.
“Mas Bayu,” Dila menghampiriku dan menyapa dengan suara beningnya. “Udah lama nunggu?”
“Belum kok,” jawabku yang kembali teralihkan oleh wangi parfum vanilla yang semakin tercium jelas ketika Dila di dekatku. “Kalau untukmu, menunggu lama pun tak jadi soal.”
Pipi Dila merona kala mendengar itu. Aku suka melihatnya yang seperti itu, tampak ringan, jujur dan apa adanya.
"Yuk,” kataku. Ku ulurkan tanganku lalu Dila menyambutnya dengan genggamannya yang lembut dan hangat. Senyum manisnya melelehkan hatiku bagaikan marshmallow di bawah matahari musim panas.
Kami masuk antrian menuju wahana bianglala sambil tetap berpegangan tangan seperti anak kecil yang riang berbaris masuk ke kelas. Sesekali kami saling bertatapan dan dia membuatku terpesona dengan parasnya yang cantik. Membuat sekelilingku nampak kabur, seolah hanya menyisakan spot panggung hanya untukku dan Dila.
Kami tinggal beberapa langkah lagi dari giliran naik. Aku bisa merasakan detak jantungku berpacu, bukan karena takut ketinggian, tapi karena momen ini terasa begitu sempurna—seperti potongan film romantis tahun 90-an yang sedang kujalani sendiri.
“Mas, nanti duduknya agak ke tengah, ya. Jangan terlalu nyender ke pinggir, biar seimbang,” ujar operator bianglala sambil tersenyum setengah hati.
Aku mengangguk, tapi ada sesuatu yang janggal dari nada bicaranya. Ucapannya terdengar biasa, tapi…terlalu spesifik. Terlalu pelan, seakan hanya ditujukan kepadaku. Matanya sekilas menatapku, bukan seperti staf yang memberi arahan pada pengunjung, tapi seperti seseorang yang mungkin mengenalku. Atau mengawasiku.
Aku ingin bertanya, tapi sebelum sempat bicara, Dila menarik tanganku.
“Ayo masuk! Lihat pemandangannya, pasti cantik dari atas,” katanya riang.
Senyumnya terlalu cerah untuk kupadamkan dengan rasa aneh yang tiba-tiba mencuat di pikiranku. Aku melangkah masuk gondola, membiarkan Dila duduk lebih dulu. Tangannya masih menggenggamku, seolah memastikan aku tetap bersamanya.
Begitu pintu gondola ditutup, kami mulai naik perlahan. Desiran angin menyapu wajahku. Gondola semi terbuka ini membuat aku bisa melihat pemandangan di bawah lebih jelas. Jakarta mengecil dibawah sana, dan suara-suara dunia meredup. Aku bisa melihat hamparan laut utara yang biru gelap terbentang dengan indah di kejauhan. Bahkan laut itu terlihat lebih indah dan megah dari gedung-gedung pencakar langit yang kehilangan kegagahannya dari atas sini.
Punggungku menyentuh sandaran dan aku langsung teringat dengan apa yang dikatakan operator tadi. Jangan terlalu nyender. Namun suara Dila mengalihkan pikiranku.