“Kucoba bertahan di dunia yang menolak namaku, Tapi dadaku retak tiap kali masa lalu memanggil pulang.”
***
Langit di atas kepalaku bukan malam. Ia merah gelap, seperti luka terbuka yang menganga. Kabut tebal bergulung di tanah, menyembunyikan sekeliling, menyisakan hanya satu hal—komedi putar tua yang berdiri seperti hantu yang dilupakan di tengah taman rusak.
Tidak ada Dila.
Tidak ada pengunjung.
Hanya lengking angin dan gemeretak besi tua yang berputar perlahan. Musiknya tidak ceria, justru terdengar seperti lagu anak-anak yang diputar terbalik. Suaranya bergesek kasar, mendecit seperti kuku di papan tulis. Kuda-kuda komedi itu tak lagi mengkilap, tubuhnya retak, catnya terkelupas, dan mata mereka…bukan kaca, tapi rongga hitam yang dalam.
Aku mencoba melangkah, tapi tanah di bawahku terasa seperti bernafas—naik turun perlahan, seperti menahan sesuatu dari dasar dunia yang lebih dalam.
"Bayu…"
Suara itu muncul entah dari mana, seperti bisikan di dalam tulang belakangku. Lalu suara lain. Lebih lembut, seperti Dila.
"Kamu janji gak akan lupa…"
Aku tidak menjawab. Tubuhku bergerak sendiri, mendekati komedi putar itu. Salah satu kuda berhenti. Kepalanya menoleh ke arahku. Dan…entah kenapa, aku naik ke sana.
Duduk diam.
Nafasku menggantung.
Saat itulah putaran mulai berubah. Bukan ke depan…tapi mundur.
Segalanya berbalik. Lampu-lampu menyala lalu padam satu per satu, seperti video yang diputar dari akhir. Musik berderit lebih keras. Bayangan-bayangan manusia dengan kepala boneka mulai muncul, duduk di atas kuda-kuda yang retak. Beberapa dari mereka mengenakan wajah…wajah Dila yang rusak terbakar, senyum lebarnya membelah sampai telinga.
"Bayu…kamu kembali ke tempatmu.”
Aku menoleh.
Di kursi sebelahku—boneka flannel itu. Duduk dengan tenang. Matanya dari kancing kini bergerak perlahan, seperti mengamati nafasku.
“Dila menunggumu di sini. Jangan pergi lagi.”
Aku ingin berteriak, tapi suaraku hilang. Dunia terus berputar mundur. Kabut makin tebal. Dan semuanya seperti menghisap kesadaranku keluar—membelah memoriku seperti cermin yang pecah dalam air hitam.
Lalu hening.
Putaran berhenti. Aku mendongak.
Langit pecah seperti kaca.
Gelap.
Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Dadaku naik turun seperti baru saja berlari marathon, dan tenggorokannya terasa perih—seperti habis berteriak terus-menerus. Tapi tak ada suara di sekelilingku, hanya dengungan samar dari lemari pendingin dan jam dinding yang berdetak pelan.
Aku mengusap wajahku yang berkeringat. Mimpi itu masih menempel di kepalaku, utuh dan tajam—seperti potongan film yang belum selesai diputar. Aku masih bisa merasakan bau karat dan debu di udara, suara-suara asing dan musik terbalik yang menusuk telinga.
Aku yakin berteriak di dalam mimpi. Atau mungkin…bukan hanya di dalam mimpi?
Mataku mulai fokus pada keadaan sekitarku. Aku tergeletak di sofa ruang tengah dengan baju yang sama seperti semalam—kemeja kotak-kotak biru dengan daleman kaos yang lecek. Bahkan aku belum melepas sepatuku. Telapak kakiku terasa berat dan kesemutan.
Aku bangun dan duduk perlahan. Membiarkan otakku bekerja sesaat untuk menyesuaikan keadaan—menyatukan realita yang terbentang tipis antara mimpi dan kenyataan, mencari potongan ingatan yang tercecer tentang apa yang terjadi semalam.
Aku pulang jam berapa?
Aku pulang langsung tidur di sofa? Gak ganti baju gak buka sepatu?
Aku tak menemukan ingatan itu, aku hanya ingat wajah Dila di Dufan, percakapan terakhir, lampu jalan yang lewat seperti coretan cahaya, lalu…kabut.
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku yang gemetar ringan. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan.
Mungkin aku masuk angin lagi, kena angin laut ketika di gondola Bianglala.
Tapi sepertinya lebih dari sekedar itu. Rasanya seperti tubuhku telah diguncang sesuatu yang tak bisa dijelaskan—dan sekarang aku bangun sebagai sisa-sisanya.
Aku berdiri dengan sedikit goyah. Kakiku kesemutan hebat, membuat langkahku menyeret ke arah dapur. Aku membuka kulkas, berharap ada air dingin. Tidak ada. Hanya botol saos dan sepotong jeruk yang mulai mengering. Aku mengambil gelas dan menyalakan keran. Suara air mengalir terdengar terlalu nyaring di dapurku yang sunyi ini.
Saat air menyentuh tenggorokanku yang perih, aku reflek meringis. Ada rasa getir di pangkal lidahku. Seperti sisa rasa dari mimpi itu yang belum benar-benar hilang.
Aku menatap cermin kecil yang tergantung di dinding dekat wastafel. Rambutku acak-acakan. Mataku merah. Untuk sesaat, aku merasa banyanganku agak…terlambat bergerak. Sepersekian detik. Tapi cukup membuat jantungku berdegub kencang.
Ah, aku hanya kecapekan habis dari Dufan.
Aku menghela nafas sesaat sambil melirik jam dinding.
Jam 03.10 pagi.
Aku menoleh ke kanvas yang sedang kukerjakan untuk pameran. Lukisannya baru lima puluh persen jadi.
Seketika pikiranku teralihkan, aku ingat deadline lukisan itu tinggal beberapa hari lagi. Mengingat itu, otak dan tubuhku kembali bekerja. Aku membuka sepatu dan kemejaku. Ku biarkan kaos lecek yang lembab oleh keringat tetap ditubuhku untuk menjaga diriku tetap berada pada realita.
Aku mengambil palet dan kuas. Kutuang beberapa warna dalam palet lalu aku campurkan. Kubiarkan imajinasiku mengambil alih tubuhku. Kutorehkan warna gelap dalam lukisan abstrak yang mewakilkan perasaanku ini.
Namun tanganku berhenti sesaat ketika aku melihat sudut bawah kanvas yang belum terkena warna—celah kecil yang sengaja aku kosongkan agar aku bisa membubuhkan tanda tanganku disitu.
Aku menunduk pelan, memperhatikan lebih dekat. Ada bekas goresan tipis. Pensil. Bukan bekas kuas, dan jelas bukan bagian dari lukisan.
Satu huruf.
a
Tapi bukan huruf a biasa. Ini a kecil, dengan perut besar, tangkai pendek di kiri, melengkung sempurna ke kanan. Tapi karena posisi huruf itu sedikit miring, dari sudut penglihatanku sekarang, huruf itu…tampak seperti D.
Aku menyipitkan mata.
Bukan tanda-tanganku. Bukan coretanku. Aku yakin belum pernah menuliskan apa pun di sana. Bahkan aku selalu pakai tinta atau spidol khusus untuk menandatangani lukisan. Tapi ini…ini digoreskan dengan pensil, samar tapi cukup dalam. Seolah ada seseorang—atau sesuatu—yang sudah lebih dulu menunggu aku menyelesaikan lukisan ini.
Aku menyentuh goresan itu dengan ujung jari.
Masih baru. Tidak berdebu. Tidak ada bekas cat yang menimpanya.
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kembali terasa kering.
Siapa yang menulis ini?
Aku menoleh ke sekeliling. Kosong. Hening. Hanya suara detik jam dan dengungan pelan lemari pendingin.
Aku mendekatkan wajahku lagi ke kanvas. Menatap huruf itu?
Kenapa a?
Atau…itu bukan a? Tapi memang D—tapi ditulis dengan cara mundur.
Aku memejamkan mata sejenak. Kepalaku kembali dipenuhi potongan mimpi yang tadi menyeretku begitu dalam. Musik terbalik, kepala boneka, topeng wajah Dila yang rusak menyeringai dan komedi putar berkarat yang mengerikan itu. Lalu sekarang…muncul huruf aneh di kanvasku.
Aku mengambil penghapus lalu kugosok huruf aneh tadi agar hilang dari pandanganku. Setelah itu, tanganku kembali meraih kuas dan kembali menorehkan warna. Kali ini warnaku lebih emosi dengan campuran tone yang kontras, seolah menggambarkan diriku yang tengah kebingungan—terjebak dalam pikiranku sendiri.
***
Sepertinya waktu tidurku yang acak-acakan ini mulai berpengaruh ke fisik. Aku jadi sering menguap dan segelas kopi tidak mampu mengusir itu. Bahkan semangkuk mie ayam pedas di jam makan siang ini hanya membuat lidahku kebas tapi tak cukup untuk menyegarkan pikiranku.
“Bay, udah sembuh?” tanya Cania sambil menuang banyak saus ke mangkuk mie ayamnya.
Aku menggeleng pelan, tidak menatap Cania. Aku hanya fokus pada layar ponselku—menunggu sesuatu yang seharusnya datang.
“Pantesan masih pucat,” kata Reza sambil mengunyah mie ayamnya. “Eh, lukisanmu udah jadi belum?”
“Oh iya, deadline nya 2 hari lagi lho,” Cania menimpali.
“Sudah 80 persen kok. Kayaknya besok udah jadi,” jawabku sambil mengaduk-aduk mie ayamku dengan sumpit.
“Bay, nanti malem ke Matraman, yuk,” ajak Reza lalu dia menyeruput es teh nya. “Mau ganti pelek mobil.”
“Sorry Za,” jawabku tersenyum. “Aku mau dinner sama Dila di rumahnya.”
Reza terkejut, “Wah asik nih, kayaknya udah serius.”
Cania nyengir, “Ciye ciye…ketemu orang tua nya dong.”
Aku mengangguk pelan sambil memakan sehelai mie ayam yang entah kenapa terasa hambar di lidahku. Seharusnya aku senang, tapi aku malah khawatir. Dinner nanti malam…entah kenapa aku merasa seperti akan ada sesuatu yang terjadi.
Atau mungkin aku agak berlebihan. Ini nervouse karena mau bertemu dengan orang tua nya Dila.
“Can, aku ke matraman sama kamu aja ya,” Reza memelas kepada Cania.
“Kamu mau ngajak aku nongkrong di bengkel?” Cania menepuk bahu Reza. “Yang bener aja Za, ajak aku kemana kek. Kalian cowok-cowok mah cocok nongkrong di bengkel, lah aku?”
Aku dan Reza tertawa. Melihat itu aku jadi semakin yakin kalau sebenarnya Reza ada rasa dengan Cania tapi dia mengungkapkan itu dengan banyolan dan Cania terlalu cuek untuk menyadari itu.
Aku menyuap sisa mie ayam yang mulai dingin, sambil melirik Reza dan Cania yang saling lempar ceng-cengan. Tapi ada sesuatu di balik cara Reza memandang Cania. Matanya sempat tinggal sedetik lebih lama dari seharusnya. Dan cara Cania mencibir…sebenarnya lebih seperti menggoda daripada menolak.
“Kamu pikir bengkel itu tempat romantis?” Cania mencibir sambil menyeruput kuah. “Mau ngajak dinner candle light pake oli?”
Reza mengangkat alis dan pura-pura serius. “Kalau perlu, lilinnya aku colokin ke knalpot. Aromanya lebih jujur dari cowok-cowok yang ngajak dinner tapi niatnya modus.”
Aku tertawa pelan, “Buset, filosofi pelek dan knalpot.”
Cania ikut tergelak. “Kamu emang udah cocok Za. Sama ban cadangan.”
Reza menunjuk Cania pakai sumpit. “Nah, itu…dia care sama aku. Ngasih kode biar aku nyari pasangan. Padahal, pasangannya udah duduk deket sini.”
Aku mengangkat alis, pura-pura kaget. “Hah? Siapa tuh?”
Cania balas menunjuk Reza dengan sedotan. “Itu tuh…cewek mana yang sabar tiap minggu dengerin ocehan kamu soal kopling dan velg belang.”
Reza senyum, sedikit canggung. “Ya abis…cuma dia yang mau dengerin, sih.”
Aku menatap keduanya sambil mengaduk-aduk es teh ku. Dalam hati aku ingin bilang, kalian tuh tinggal jadian aja, serius deh. Tapi seperti biasa, mereka lebih nyaman di zona abu-abu itu—tempat semua perasaan dibungkus tawa dan saling sindir. Mungkin itu yang bikin mereka tetap dekat. Atau mungkin…mereka hanya takut merusak yang sudah ada.
Aku menghela nafas dalam hati. Melihat mereka membuatku bertanya-tanya, apakah aku dan Dila juga akan tetap bisa tertawa setelah ini?
Apakah nanti malam…segalanya akan baik-baik saja?
Atau…ini akan menjadi malam yang mengubah segalanya?