“…, ....”
***
Cahaya dari monitor menusuk seperti semburan silet ke retina. Aku menyipitikan mata, mencoba fokus pada angka-angka dan huruf di monitor—tapi semuanya tampak seperti berenang. Huruf-huruf mengambang, bergoyang, membentuk semacam tarian absurd.
Aku mengedipkan mataku beberpa kali.
Satu.
Dua.
Tiga.
Terlihat semakin buram.
Angka ‘6’ dan ‘8’ tampak seperti kembar siam yang gagal dipisahkan. Warna latar grafik yang biasanya aku atur dengan warna kontras lembut kini terlihat menyala, seperti neon yang terlalu terang di tengah malam.
Hijau terasa seperti menjerit. Kuning terlihat seperti luka terbuka.
Kenapa lagi ini?
Tanganku gemetar saat meraih mouse. Pointer di layar tampak mengganda.
Aku berdiri dari kursi, mencoba berjalan menjauh dari layar. Tapi dinding ruangan seolah ikut bergetar, dan lantai di bawah kakiku mendadak terasa seperti bergerak pelan, seperti kapal yang dilambung gelombang kecil.
Aku bersandar di meja, menunduk, mataku terpejam. Suara kipas laptop menderu, suara jam dinding berdetak pelan tapi menusuk, dan untuk sesaat…aku merasa berada di tempat yang asing.
Ruang ini terlalu terang.
Terlalu keras.
Terlalu banyak.
Pintu ruang kerja terbuka perlahan, lalu suara langkah ringan terdengar mendekat.
“Bay, kamu di sini,” seru Cania dengan ceria. “Aku sama Reza dari tadi nyariin kamu. Gimana dinner semalam?”
Aku tersentak sedikit. Suara Cania seperti disetel dua tingkat lebih keras dari biasanya. Bahkan tawa kecilnya seperti memantul di kepalaku—seperti gema dalam ruang kosong.
Reza menyusul masuk, menggenggam segelas kopi. “Aku tebak…kamu udah resmi dipanggil mas Bayu sama calon mertua?”
Tanganku reflek mengusap pelipisku. Semua terasa terlalu cepat. Suara. Cahaya. Ruangan ini.
Mereka seperti badai kecil yang masuk tiba-tiba ke dalam kepalaku.
“Iya…lancar,” jawabku dengan cepat, berusaha tersenyum walau bibirku terasa berat. “Orangtuanya Dila ramah kok. Mereka…menerima aku dengan baik.”
| Bohong.|
Tapi mengatakan yang sebenarnya terlalu melelahkan.
Cania mendekat, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Gitu doang? Terus...?” ia menyenggol lengannku dengan bahunya, “kapan lamarannya?”
Lamaran?
Jantungku seperti berhenti sedetik.
Seolah ada sesuatu yang retak di dadaku. Bukan karena pertanyannya, tapi karena aku sadar pertanyaan itu seharusnya membuatku bahagia. Tapi yang terasa justru dingin. Pedih. Seperti luka lama yang disentuh kembali.
Aku menunduk.
Tenggorokanku terasa kering.
Langit-langit mulutku serasa dilapisi debu.
“Belum…kepikiran kesitu,” jawabku lirih. “Masih…masih pelan-pelan.”
Cania tersenyum geli. Mungkin dia mengira aku hanya malu-malu. Tapi buatku, senyum itu terasa seperti pisau yang menyayat pelan. Aku tahu Cania hanya menggodaku. Tapi yang aku rasakan…terlalu nyata. Terlalu tajam.
Dila.
Wajahnya tadi malam.
Suaranya yang terdengar jauh.
Anak dari orang tua yang menikah dua kali itu…biasanya bawa aura berat.
| Aura gelap.|
Aku meringis mendengar penggalan memori itu di kepalaku. Aku mengusap kedua mataku agar kepalaku kembali ringan—walapun aku tahu itu sia-sia.
“Bay, makan yuk,” ajak Reza dengan semangat. “Soto Betawi yang di depan stasiun Sudirman.”
“Yuk! Udah jam istirahat begini masih kerja aja,” Cania antusias mengajakku.