Before the Silence

Renja Permana
Chapter #13

Chapter 13

Seperti ada suara petir di atas kepalaku, aku tersentak bangun dan melihat hujan deras mengguyur Jakarta dari jendela kamarku. Hujan itu turun menghujam tanpa ampun sehingga membuat langit terlihat buram. Gedung-gedung tinggi yang biasanya terlihat kokoh dan angkuh dengan lampu-lampunya sekarang mereka tidak tampak—tertutup serbuan hujan yang seolah menunjukan bahwa dialah pemenangnya.

Kilatan cahaya ungu melesat dengan cepat di langit dan disusul dengan suara petir yang bagaikan ledakan yang membelah langit. Siapapun yang mendengar itu mungkin akan terlonjak kaget atau berteriak—tapi aku tidak.

Suara petir tadi bagaikan numpang lewat di telingaku—tak sanggup membangunkanku dalam kesunyian.

Aku duduk di kasur sambil menatap jendela yang buram karena hujan. Aku tak bergerak. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Atau seluruhnya?

Ini di mana?

Aku sedang apa?

Tadi ada apa?

Aku…kenapa?

Otakku seperti berputar cepat mencari apapun yang bisa di ingat dalam kepalaku. Namun kepalaku terasa kosong, tak ada apapun di sana. Hanya terdengar suara hujan yang deras dan petir yang menggelegar.

Cahaya merah terlihat di jendela dan tak lama disusul dengan suara ledakan petir yang bagaikan meledak tepat di atas gedung apartmen ini. Kali ini aku terlonjak kaget, kepalaku tersentak seperti tertarik oleh kilatan memori yang meluncur di dalam kepalaku. Film memori itu berputar cepat. Wajah-wajah bermunculan dan lenyap—ayahku, ibuku, pamanku, ibu tiriku. Lalu masa remaja, kuliah, Cania, Reza…hingga akhirnya semua berhenti pada satu wajah—Dila. Matanya sembab. Tangisnya belum kering. Tapi aku tahu…itu sudah terlalu lama berlalu.

Jantungku rasanya berhenti berdetak sepersekian detik dan aku merintih. Dadaku sakit, tapi bukan sakit yang bisa dilihat—ini sakit yang hanya bisa dirasakan oleh yang patah hatinya.

Cahaya petir kembali menyambar, kali ini lebih dekat. Kilatnya menyusup masuk ke dalam kamar dan menyilaukan pandanganku—menusuk mataku seperti sembilu cahaya.

Aku memalingkan wajah dan mengerjap, cahaya itu terlalu terang untuk luka yang belum sembuh.

Aku menjejakkan kakiku ke lantai yang dingin dan berdiri perlahan. Dengan tubuh yang belum sepenuhnya terbangun, aku menyeret langkah ke jendela dan menutupnya rapat dengan hordeng yang mulai lembab. Cahaya luar kini terkurung di balik kain gelap, menyisakan cahaya redup dalam kamar yang terasa makin sunyi.

Aku menoleh.

Di pojok kamar, berdiri sebuah kanvas besar—lukisan yang seharusnya aku submit untuk seleksi kurasi pameran minggu ini.

Tapi goresannya belum selesai. Warna-warnanya belum hidup.

Seperti hatiku.

Tanganku terulur pelan, menyentuh bagian kosong dari kanvas itu. Ku usap pelan dan debu halus menempel di ujung jariku.

Ini harus selesai.

Tapi bagaimana menyelesaikan sesuatu yang indah dengan hati yang hancur?

Aku mengambil kuas dan mulai mencoret. Aku ambil warna dengan kasar dari palet dan kutoreh pada kanvas seperti sedang menyayat hati yang sudah remuk.

Tanganku bergerak tanpa arah. Lukisan abstrakku yang awalnya kubuat dengan dasar yang gelap dan terang di layer atas—bermakna bangkit dari keterpurukan, sekarang layer itu kembali tertutup dengan kelam.

Lukisan kutoreh tanpa rencana. Mereka seperti emosi yang keluar langsung dari celah-celah retakan hati, menetes bersama cat, bercampur antara kemarahan dan kehilangan.

Kuasku menghantam kanvas. Aisle yang menyangga kanvasku bergoyang—susah payah menahan emosiku hingga hampir jatuh.

Hitam seperti malam yang menekan suara.

Merah seperti daging yang terkoyak.

Biru pekat seperti tubuhku—terbenam.

Coretanku tak karuan.

Seperti ingin menghapus semua kenangan indah yang pernah aku lukiskan, agar mereka kembali ke asalnya—kesunyian.

 and in the end I guess I had to fall. Always find my place among the ashes…

Potongan lirik Lithiun kembali terdengar dikepalaku, seolah itu diputar langsung dari balik puing-puing hatiku.

Always find my place among the ashes?

| Ya…kau hanya serpihan abu yang terbang terlalu tinggi menggapai cahaya tapi cahaya-

| bukan tempatmu.

Kuas itu akhirnya kulempar.

Bersama palet dan cat.

Semua berterbangan, menghantam dinding dengan suara nyaring.

Terbanting. Terpental. Terciprat.

Satu kaleng kecil bahkan terguling dan menumpahkan warnanya ke lantai.

“Aaaaaarrrggghhhh!!!” suaraku terpecah dari tenggorokanku. Tanpa bentuk—bahkan tak kukenali.

Teriakan yang bukan lahir dari amarah…tapi dari sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap. Kehampaan yang menjerit minta diakui.

Aku terdiam sejenak, mematung. Dadaku naik-turun. Telingaku berdenging.

Lukisanku kini tak lagi bermakna. Hanya ampas rasa.

Tubuhku merosot perlahan, seperti tak ada tulang, seperti runtuh dari dalam. Aku terduduk di lantai, di antara cipratan cat dan serpihan palet pecah.

Kepalaku menunduk, menatap tanganku yang berlumuran cat.

Jari-jari ini…dulu menciptakan keindahan. Sekarang hanya meninggalkan bekas luka di kanvas.

Aku tidak menangis. Tangis itu terlalu mewah. Aku hanya terdiam dengan keheningan yang menggema di dalam kepala.

Cat yang tumpah mengalir pelan, menyebar membentuk pola tak tentu di ubin yang retak.

Aku menoleh menatap itu.

Warnanya persis seperti dinding di kamar paman.

Hijau pudar yang aneh. Lembab. Seperti berlumut kenangan.

Lihat selengkapnya