BEGAL 2: WHO IS THE BIG BOSS

Runderby
Chapter #1

Bab 1 Gema Dari Kegelapan

Langit malam membentang di atas kota, permadani hitam yang ditaburi kerlip lampu artifisial. Namun, di balik fasad gemerlap itu, di sudut-sudut tersembunyi yang tak tersentuh cahaya kemeriahan, kegelapan yang sesungguhnya tengah bekerja, merajut intrik dan menumpahkan darah.

Di dalam sebuah diskotik yang beberapa jam lalu masih berdenyut dengan musik dan tawa, kini keheningan mencekam menggantung berat. Lantai dansa yang lengket oleh minuman tumpah kini ternoda oleh bercak merah gelap yang semakin melebar. Di pusatnya, sesosok tubuh pria tergeletak kaku, mata terbelalak ngeri, mulutnya mengeluarkan busa bercampur darah. Para pengunjung yang tersisa—mereka yang cukup 'beruntung' atau cukup penting untuk tidak diusir—berdiri membisu di sudut-sudut ruangan, wajah mereka pucat pasi, tak berani bergerak, tak berani bernapas terlalu keras. Udara pengap oleh bau alkohol, parfum, dan kini, aroma kematian yang anyir.

Dari balik tirai beludru tebal ruang VIP, sesosok figur melangkah keluar dengan ketenangan yang membekukan. Jas putih bersihnya seolah menolak kegelapan di sekelilingnya, kontras dengan sarung tangan lateks hitam yang membungkus jemarinya. Langkahnya pelan, tanpa suara, saat ia mendekati jasad di lantai. Ia berjongkok, tatapannya dingin tak berperasaan saat mengamati korbannya

"Kau tahu hukumannya," suaranya memecah keheningan, datar dan tanpa nada, seperti gesekan es. "Pengedar dilarang keras bermain dua kaki. Loyalitas adalah segalanya." Ia meraih gelas kristal berisi minuman yang setengah kosong dari meja terdekat. Dengan jari bersarung tangan, ia mengambil sebongkah pecahan es dari dalamnya. Lalu, dengan ketenangan yang sama mengerikannya, ia menekan pecahan es runcing itu ke leher si pengkhianat. Terdengar suara robekan pelan, diikuti semburan darah segar yang bercampur dengan lelehan kristal es, melukis pola mengerikan di lantai marmer. Tanpa ekspresi. Tanpa suara rintihan. Tanpa ampun. Mereka memanggilnya The Ice Man.

Di sisi lain kota, di dekat dermaga yang berbau garam dan ikan busuk, sebuah pabrik obat-obatan tua berdiri menjulang dalam remang malam. Bukan obat legal yang diproduksi di sini. Lorong-lorongnya dipenuhi uap kimia menyengat dan deru mesin-mesin industri yang bekerja tanpa henti, menyamarkan aktivitas terlarang di dalamnya.

Di jantung pabrik, di sebuah ruangan utama yang luas dan berantakan, pemandangan kontras tersaji. Dua pria berlutut di lantai beton yang kotor, tangan terikat di belakang punggung, wajah babak belur. Di hadapan mereka, berdiri sesosok pria lain dengan ketenangan absolut. Jas abu-abu mudanya tanpa cela, dasi terikat sempurna, sepatu kulitnya mengilap memantulkan cahaya redup lampu industri. Di tangannya yang terangkat, tergenggam sebuah pistol berperedam suara, moncongnya mengarah tepat ke kepala kedua tawanan.

“Kalian telah menciptakan cacat dalam sistemku,” ucap pria berjas itu, suaranya tenang, nyaris seperti sedang membahas laporan keuangan. “Dan cacat... harus dieliminasi.” Pelatuk ditarik dua kali. Suara 'phut-phut' yang teredam nyaris tak terdengar di tengah deru mesin. Dua lubang kecil muncul di dahi masing-masing tawanan. Mereka tumbang serentak, tanpa suara, genangan darah mulai melebar di bawah kepala mereka.

Pria berjas itu menurunkan pistolnya, tak terpengaruh sedikit pun. Ia mengeluarkan sapu tangan sutra dari saku jasnya, membungkuk sedikit untuk membersihkan setitik noda—mungkin cipratan darah—yang tak kasat mata di ujung sepatunya. Ia melirik jam tangan mewahnya. Tepat waktu. Rapi. Bersih. Seolah ia baru saja menyelesaikan tugas administrasi rutin. Mereka memanggilnya The Perfect Man. Seorang perfeksionis dalam segala hal, termasuk dalam seni membunuh.

Di lorong gelap dan lembap di salah satu markas kecil tak terhitung milik organisasi BIG BOSS, gema teriakan kesakitan dan denting logam beradu memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Pertarungan baru saja usai

Sesosok wanita bergerak dengan kelincahan predator di tengah remang-remang. Rambut hitamnya dikuncir ekor kuda, pakaian kulit ketatnya memeluk lekuk tubuhnya yang atletis. Di tangan kanannya, tergenggam seutas senar baja tipis yang berkilauan samar, begitu tajam hingga konon mampu membelah besi. Di kakinya, tergeletak sesosok pria yang lehernya patah dalam sudut tak wajar.

“Kau mengkhianati perintah. Dan dalam dunia ini... itu adalah kesalahan fatal,” desis wanita itu, suaranya lembut namun mematikan. Alice. Namanya terdengar manis, namun tindakannya jauh dari itu.

Tak jauh darinya, rekannya berdiri bersandar di dinding, membersihkan darah dari bilah katana panjangnya dengan kain lap. Tubuhnya dipenuhi tato rumit yang mengular hingga ke leher. Ia mengangkat katana itu, menjilat sisa darah di ujung bilahnya dengan ekspresi puas yang mengerikan. Yahito. Sadis, pendiam, namun mematikan seperti bayangan. Bersama Alice, mereka adalah The Twin Executioners—algojo kembar yang reputasinya mendahului mereka, tak pernah gagal dalam memburu dan mengeksekusi target yang dianggap berkhianat oleh BIG BOSS.

Ketiga insiden itu, terpisah oleh jarak namun terhubung oleh benang merah kekejaman dan efisiensi, adalah gambaran sekilas dari operasi senyap yang dijalankan oleh tangan-tangan tak terlihat di bawah kendali sosok misterius yang hanya dikenal sebagai BIG BOSS. Roda organisasi terus berputar, melibas siapa saja yang berani menghalangi atau berkhianat.

Satu Bulan Kemudian


Satu bulan telah merangkak berlalu sejak malam penuh darah di mana lima sahabat—Alex, Ari, Kirana, Hanafi, dan Rio—berhasil menuntut balas atas kematian Ayu, istri Alex, dan membongkar jaringan begal brutal yang meneror kota. Mereka berhasil melumpuhkan para begal, namun dalang utamanya, BIG BOSS, masih menjadi misteri, bayangan yang tak tersentuh.

Kini, mereka mencoba kembali merajut kepingan hidup mereka yang sempat hancur. Alex kembali ke bengkel mesinnya, tangan-tangan kokohnya yang dulu terbiasa memegang kunci pas kini kembali sibuk menyetel karburator dan sesekali, merakit atau memperbaiki senjata pesanan dari dunia bawah yang mengenalnya sebagai mekanik handal dengan keahlian tambahan. Tangannya masih cekatan seperti dulu, namun sorot matanya tak lagi setenang biasanya. Ada kilatan waspada, sisa trauma yang mengendap dalam diam, bayangan pertarungan yang sulit hilang.

Ari, sang ahli bela diri, kembali ke rutinitasnya sebagai pelatih di sebuah dojo sederhana di jantung Jakarta. Teriakan semangat murid-muridnya mengisi ruangan, namun di balik senyum tegas dan instruksi yang lugas, ia menyimpan gelisah yang tak terucapkan. Refleksnya menjadi lebih tajam dari sebelumnya, setiap suara tak terduga membuatnya sedikit tersentak, seolah tubuhnya selalu dalam kondisi siaga, menunggu serangan dari sudut mana pun.

Kirana, sang jurnalis idealis, kembali terjun ke lapangan, mengejar berita, mewawancarai narasumber, merekam denyut nadi kota dan isu-isu sosial yang seringkali luput dari sorotan media arus utama. Kamera dan buku catatannya kembali menjadi senjata utamanya. Namun, kini ia sering merasa ada yang mengawasinya dari kejauhan. Setiap kali ia menoleh ke keramaian atau menatap pantulan dirinya di cermin etalase toko, perasaan tak nyaman itu muncul, dingin dan menusuk.

Sementara itu, Hanafi, sang pemasok senjata dari balik layar, kembali membuka 'toko'-nya—sebuah gudang besar yang tersamarkan di kawasan industri pinggiran kota. Pelanggan-pelanggan lamanya dari dunia gelap kembali berdatangan, mencari pasokan untuk 'bisnis' mereka. Hanafi melayani mereka dengan sikap tenang dan profesional seperti biasa. Namun, kini telinganya lebih peka. Setiap deru mesin mobil yang mendekat atau suara pintu gudang yang berderit membuatnya sedikit menegang, tangannya tanpa sadar meraba senjata yang selalu terselip di balik jaketnya.

Dan Rio, sang peretas jenius yang menjadi mata dan telinga mereka selama operasi balas dendam itu, mencoba kembali ke kehidupan 'normal'-nya, bekerja lepas mengerjakan proyek-proyek keamanan siber dari apartemennya yang penuh dengan gawai canggih. Namun, ia tampak lebih sering mengunci diri, lebih jarang keluar, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan atau takuti.

Mereka mencoba hidup seperti biasa, namun bayang-bayang masa lalu dan ancaman yang belum usai terasa begitu nyata, menggantung di udara seperti pedang Damocles.

Hari itu berjalan seperti hari-hari lainnya dalam sebulan terakhir, penuh rutinitas yang dipaksakan untuk menutupi kegelisahan.

Menjelang malam, Alex baru saja selesai membersihkan oli dari tangannya dan hendak menutup gerbang besi bengkelnya yang tinggi. Tiba-tiba, sebuah sedan hitam legam dengan kaca gelap berhenti sejenak tepat di depan bengkel. Tak ada suara klakson, tak ada yang turun. Hanya berhenti sesaat, lalu melaju lagi dengan senyap, menghilang di tikungan jalan. Bersamaan dengan perginya mobil itu, secarik kertas kecil jatuh dari jendela penumpang, melayang pelan tertiup angin malam sebelum mendarat lembut tepat di dekat kaki Alex.

Lihat selengkapnya