BEGIN AGAIN

Lapia Kunchay
Chapter #1

Desember Kali Ini

IRENA

Waktu gue kecil, gue pernah berpikir enak banget ya jadi orang dewasa. Bisa kerja, lalu jalan-jalan ke luar negeri terus ngabisin duit sesuka hati, bisa naik mobil sendiri, bisa melakukan apapun tanpa ada yang harus ngelarang. Se-simple itu pikiran gue tentang jadi orang dewasa. Berlanjut ketika Kak Fany SMA dan gue masih SMP, gue selalu iri bagaimana kak Fany diperbolehkan punya handphone dan juga diperbolehkan keluar setiap malam minggu, bahkan Kak Fany diam-diam pesta dengan teman-temannya.

Dan gue iri? sejujurnya iya. Karena walaupun pada akhirnya setelah gue SMA dan orang tua gue tampaknya memperbolehkan gue melakukan hal yang dulu Kak Fany lakukan, pada nyatanya gue tetap tidak melakukan hal-hal tersebut.

Beranjak ketika gue SMA, gue lebih nyaman sendirian dan mengunci pintu di dalam kamar. Ngedengerin musik atau dengerin celotehan penyiar radio rasanya jauh lebih menyenangkan daripada gue keluyuran nggak jelas, nongkrong di Grand Indonesia atau di cafe kayak yang lain. Gue nggak menyalahi orang-orang yang berbeda dari gue, karena gue juga tahu bahwa cara orang menikmati hidup pasti berbeda. Gue cuma ngerasa nggak nyaman aja sama hal-hal itu.

Barulah setelah kuliah Kak Fany ngajarin gue beberapa hal, mulai dari dandan, cara berpakaian, sampai pada akhirnya gue jatuh cinta sama yang berhubungan dengan fashion.

Orang-orang di sekitar kita bilang, kalo gue dan Kak Fany punya kepribadian yang berbeda hingga seratus delapan puluh derajat. Kak Fany orangnya ceria, dia lebih mudah akrab sama siapapun bahkan sama orang yang baru dia kenal sekalipun. Sedangkan gue, gue nggak bisa seperti itu. Banyak hal yang gue batasi dari orang-orang apalagi yang baru kenal. Lagi pula kayaknya gue menganut aliran "semua harus ada batasnya".

ba·tas n 1 garis (sisi) yang menjadi perhinggaan suatu bidang (ruang, daerah, dan sebagainya); pemisah antara dua bidang (ruang, daerah, dan sebagainya.)

Se-enggaknya itu makna batas ketika gue buka Kamus Besar Bahasa Indonesia waktu masih sekolah. Tanpa batas semua bersikap bebas termasuk mengulik ranah pribadi yang sebenarnya hanya untuk kita sendiri. Gue nggak mau itu terjadi, diri gue, cerita gue, dunia gue, apapun yang terjadi pada diri gue, hanya untuk diri gue sendiri.

Gue nggak punya banyak teman apalagi sahabat kayak Kak Fany, Mungkin ada beberapa teman atau kenalan, atau gue lebih nyaman menyebutnya sebagai kolega, itupun berkat kak Fany. Yah, satu-satunya orang di dunia ini yang bisa gue andalkan adalah Kak Fany, Kak Fany, dan Kak Fany. Sebagai anak sulung Kak Fany udah berusaha keras supaya gue jadi anak baik, nurut sama orang tua dan jadi Kakak yang baik juga buat Bian. Dan sampai detik ini, gue nggak yakin bahwa semua itu sudah gue perankan dengan baik atau belum.

Gue peduli sama orang lain, tapi gue bukan orang yang terbuka dengan hal-hal seperti itu. Gue bukan tipikal orang yang pandai mengungkapkan sesuatu apalagi jika itu menyangkut dengan perasaan.

Dan hal ini salah satu alasan kenapa gue benci jadi orang dewasa yang harus selalu menggunakan perasaan.

Dari sekian rumit teori dan quotes bijak yang gue baca, nggak ada orang yang benar-benar memahami soal perasaan. Tahu apa tentang perasaan yang dirasakan orang lain? Gue nggak akan melanjutkan kata-kata soal perasaan sampai lebaran kura-kura pun nggak akan pernah ada yang namanya titik temu.

"Ren, kamu jadi pergi?" tanya Kak Fany ke gue.

Gue mengangguk sambil membereskan lembaran kertas di atas meja. "Bentar doang. Nggak enak sama mereka kalo aku nggak datang."

"Acaranya di daerah mana, sih?" Tanyak Kak Fany sambil mengoleskan lipstik berwarna pink nude di bibirnya.

Gue tiba-tiba berhenti mengumpulkan lembaran kertas, berpikir sejenak, lalu menyadari bahwa gue belum bertanya dimana acara itu akan berlangsung. "Belum nanya," jawab gue singkat.

Kak Fany menatap gue lekat, "Yakin mau pergi?" tanyanya sangsi.

Gue mengangguk cepat, "Kenapa?" tanya gue heran seraya menaruh lembaran sketsa design gue ke laci meja. "Nggak enak kalo nggak datang, apalagi Renatta baru pulang dari luar negeri. Males sih tapi mau gimana lagi?" ucap gue pasrah, hari ini nggak memungkinkan buat gue nggak pergi ketemu teman-teman gue. Maksud gue, kolega gue pas kuliah.

"Abis nggak niat banget, lokasinya aja kamu belum tau. By the way, have fun ya! I wish you meet someone who can make your heart deg-degan."

Gue mengernyitkan dahi, "Apaan sih?" Balas gue cuek.

"Aminin dong!"

Gue tersenyum, "Iya, Amin. Dah, aku pergi ya!"

"Iya, tiati! jangan lupa hubungi model buat pemotretan minggu depan," Ujar kak Fany setengah berteriak karena gue sekarang udah di dekat pintu keluar. Gue mengangguk lalu meng-oke-kan ucapan Kak Fany dengan acungan jempol.

Masih kata Kak Fany, hidup gue itu ngebosenin banget. Sebenarnya, nggak cuma hidup, hampir semua yang gue punya itu membosankan. Gue dianggap nggak bisa bercanda dan terlalu serius dalam menghadapi apapun. Kadang gue juga bingung, di bagian mananya gue terlalu serius? gue memang nggak bisa bercanda karena memang gue nggak punya waktu untuk bercanda. Dan menurut gue, ketika lo mengerjakan sesuatu maka hasilnya nggak akan dapat nilai sempurna ketika lo cuma menaruhnya setengah hati apalagi sambil bercanda.

Gue totalitas? iya.

Gue perfeksionis? Mungkin, iya juga.

Karena gue nggak akan pernah setengah-setengah dalam hal apapun. Maka salah besar ketika orang mengatakan bahwa sempurna itu tidak ada. Sempurna itu ada jika kita bertekad mendapatkannya.

Am I right?

Hari ini tanggal 18 Desember, pukul 17.21 menit.

Tinggal hitungan hari untuk menuju tahun baru. Padahal gue nggak suka bulan Desember tapi ada saatnya gue ngerasa berat buat mengakhiri Desember.

Gue juga benci Januari, karena Januari adalah bulannya orang-orang sok filosofis. Dan intinya adalah bahwa gue tidak terlalu menyukai hal-hal seperti itu, entah Januari, Desember ataupun November semuanya sama. Namun selalu ada pengecualian jika itu tanggal 15 oktober.

"Happy new year!! Semoga tahun ini lebih baik dari tahun kemarin." Atau "Selamat tahun baru semoga apa yang kita cita-citakan di tahun ini segera terwujud."

Oh c'mon dude! Lo berharap itu terjadi tapi lo nggak kerja mati-matian, ya percuma dong. Sia-sia aja. Mana ada sih harapan bakal nyata kalau lo sendiri minim usaha?

Dan gue jarang ngerayain tahun baru. Pernah sih sekali pas gue jadi Mahasiswa Baru itu pun dipaksa. Dan tahun baru pertama dan terakhir bareng keluarga adalah ketika Bian masih SMA dan itu pun nggak sama keluarga utuh, cuma gue sama Bian. Waktu itu kita cuma bakar jangung yang disiapin sama Mbak Sri dan suaminya. Anyway, Mbak Sri adalah Mbak yang kerja di rumah gue lebih dari tujuh belas tahun.

Dan tahun ini, bakal sama kayak tahun sebelumnya. Gue bakal di rumah aja, nonton, atau gue bakal kerja sampai letupan kembang api terdengar di langit Jakarta. Tenang aja, biasanya Jakarta hujan kok pas malam tahun baru, walaupun gitu biasanya tetap aja ada yang mau mepet-mepetan di HI buat nonton artis dangdut atau rela macet-macetan di puncak. Kan, ngabisin energi.

Drrt...drrrt ...drrrrt.

Ponsel yang gue letakkan di jok sebelah bergetar. Rame ternyata, tuh kan Ana masukin gue ke grup chat nggak jelas.

“Ren, udah gue shareloc ya... jangan telat dan jangan nyasar lu!”

Gue mendengus pelan. Jam segini nih lagi macet-macetnya dan Ana minta gue untuk nggak telat. Wah, mustahil sekali. Gue ngelempar ponsel ke tempat semula.

Butuh hampir satu jam dari butik buat sampai ke ini tempat. Dan finally, Tuhan masih baik banget ke gue dengan membiarkan gue selamat sampai tujuan meskipun otak dan pikiran gue hampir tidak terselamatkan kewarasannya.

Hanya berjarak sekitar lima meter dari pintu masuk, gue bisa melihat sekumpulan temen kuliah gue dulu tertawa cekikikan yang gue sama sekali nggak ngerti apa yang lagi mereka tertawakan.

"Haii!!" Seseorang melambaikan tangannya yang jenjang ke gue, namanya Ana. Bisa dibilang dari semua orang di sini, Ana adalah orang yang paling berani dan bodo amat ke gue.

Gue tersenyum sambil membalas lambaiannya. Selangkah... dua langkah dan dilangkah ketiga yang lainnya ikut menyapa gue. Gue nggak terlalu ingat siapa mereka, tapi....ya sudahlah. Anggap aja gue lagi sok ramah, toh pasti Ana bakal ngenalin gue lagi ke mereka.

"Jjeng...jjeng... jjeng... kita sambut designer ternama kita Irena Adnan," ujar Ana.

Gue mengernyitkan kening. "Apaan sih, Na?"

"I miss you!"

Lihat selengkapnya