BEGIN AGAIN

Lapia Kunchay
Chapter #2

Ale

Yasha

"KAK YASHAAAA!!! CEPETAN ANTERIN AKU!!"

Gue yakin kalo ada orang yang bediri di dekat dia sekarang pasti bakal pecah tuh gendang telinga. Ini kali keberapa dia manggil gue sambil gedor-gedor pintu kayak lagi dikejar setan pengkolan.

Ddor... dor... ddor!

Suara ketukan pintu yang diketuk Yeva sama sekali nggak nyantai. Ngegas mulu tuh bocah SMA. Heran gue, anak-anak sekarang pada begitu semua bentukannya, sopannya diminimalisir banget.

"Mbak, bisa nyantai nggak?" Ujar gue sambil bukain pintu kamar.

"Nggak bisa, Kak. Sekarang Yeva udah telat, cepetan makanya!" Rengek Yeva.

"Dih maksa lagi!"

"Kak Yasha ngomel mulu dah. Hari ini tuh Yeva pemilihan Ketua Ekskul makanya harus cepet, nggak boleh telat!" Ujarnya.

"Terus kenapa Kakak yang harus buru-buru?"

Mata Yeva terbelalak mendengar jawaban gue barusan, "kalo Yeva telat sampai di sekolah, orang yang harus bertanggung jawab adalah Kak Yasha," ancamnya sambil melengos.

Yeva ninggalin kamar gue sekarang.

Bayangin deh, beberapa tahun kemudian adik gue bakal jadi apa kalau kerjaannya ngancam gue mulu?

Yeva... Yeva…

"Kak, kalo Yeva menang jadi ketua osis, kak Yasha harus kasih hadiah," tegasnya.

Gue cuma mengangguk-angguk mendengarkan celoteh bahkan sampai kami tiba di depan gerbang sekolah. "Bye, Kakak aku yang paling jelek sedunia," tuturnya sambil keluar dari mobil.

Seraya melihat ke arah Yeva yang berlari kecil kejauhan, gue tertegun sejenak, lagi mikir kalo anak itu secepat itu gedenya.

Umur gue dan Yeva berjarak sepuluh tahun. Bagi gue, Yeva adalah segalanya. Walaupun bagi Yeva gue cuma Kakak yang ngeselin dan nggak tahu aturan. Yeva tipe anak yang ceria meskipun dia nggak seceria yang dipikirkan oleh orang lain. Di rumah, dia cuma remaja enam belas tahun dan rahasia yang ia simpan. Dan gue, Kakaknya, sedang mencoba memasuki dunia Yeva dengan segala keterbatasan gue.

Pukul dua sore memutuskan untuk kembali cafe.

Cuma berselang beberapa jam ketika gue sampai, seseorang membuka pintu seketika membuat mulut gue hampir menganga.

"Selamat siang, apakah benar cafe ini milik Bapak Yasha?" Tanyanya serius.

BANGKE!!!

Rasanya gue pengen nonjok nih orang.

"ANJIIING!!!" umpat gue keras.

Untungnya cafe lagi sepi-sepinya, jadi gue nggak perlu sungkan buat ngatain si manusia satu ini. "Tahu jalan pulang, lo?"

Si kampret sialan ini malah ngakak tertawa.

"Hampir gue nyasar, bro!" Jawabnya sambip ngerangkul gue.

"Gila lo bang! Bisa-bisanya...,"

Jujur, gue kehilangan kata-kata sekarang ngeliat nih orang di depan gue, setelah ngilang bertahun-tahun nggak ada kabar sama sekali.

"Apa kabar lo?" Tanya Bang Ale.

"Sebelum lo datang ke sini gue baik-baik aja, tapi sekarang mood gue ancur. Sialan lo! Asli... parah banget lo!" Gue masih mengumpat, lebih tepatnya gue nggak bisa mendeskripsikan yang gue rasain, antara senang atau malah sebaliknya.

Bertahun-tahun Bang Ale ngilang kayak ditelan bumi tapi hari ini muncul lagi sambil nyengir seolah nggak terjadi apa-apa.

Faak nggak tuh?!

Bang Ale malah tertawa lebih keras dari sebelumnya. Dan gue juga ikut tertawa. Basa-basi gue nyuruh dia buat duduk, dan gue berinisiatif buat ngambil minuman.

Dari kejauhan gue masih perhatiin Bang Ale yang ngeluarin ponselnya.

"Kapan pulangnya, sih?" Tanya gue sambil bawa minuman dingin.

"Udah dua minggu," jawabnya.

"Dan lo baru nemuin gue sekarang?"

Dan dia kembali tertawa.

"Gue baru sempat Yash." Ia menggeser gelas ke arah kanan.

Gue mengangguk-angguk paham, nggak mau melanjutkan pertanyaan terlalu dalam. Senyamannya Bang Ale aja dia mau cerita seberapa jauh. "Ngomong-ngomong, apa kabar Praha?" Tanya gue.

"Baik," jawabnya pasti. "Masih cantik kayak dulu. Praha masih selalu suka ngasih kejutan."

"Sekarang kejutannya apa?" Tanya gue.

Bang Ale nggak langsung menjawab, tapi kali ini ia mengeluarkan kertas berwarna krem lantas menyodorkannya ke gue.

Gue menaikkan alis, mewanti-wanti kejutan apalagi ini. Gue mengambil kertas tersebut lalu membukan lembaran dengan rasa penasaran yang semakin kuat.

Dan...!

Gue seperti mendapat letupan kembang api kedua kalinya. Kali ini kejutan yang nggak pernah gue bayangkan dari seorang Ale.

"Ini serius?" Tanya gue memastikan kembali setelah gue membaca bahwa kertas tersebut adalah undangan pernikahan.

Lihat selengkapnya