Sudah hampir seminggu ini semenjak Rifa secara resmi mengenalkan dirinya pada orang tua Ami, ia jadi lebih sering berkunjung ke rumah Ami. Entah untuk menemui Ami, ataupun mengobrol dengan Papanya dan menonton bola bersama. Seperti sekarang ini, Rifa sudah stand by di ruang tamu bersama dengan Papanya. Kali ini bukan untuk menonton bola bersama, melainkan untuk bertanding catur.
Ami tengah sibuk membantu Mama Marisa menyiapkan hidangan cemilan bagi pria-pria yang berada di ruang tamu.
"Ini." Ami meletakkan dua cangkir kopi lalu disusul Mama Marisa yang berjalan di belakang dan ikut meletakkan beberapa cemilan. Ami langsung mengempaskan tubuhnya di sofa panjang yang diduduki Rifa juga.
"Kenapa wajahnya ditekuk gitu?" tanya Rifa karena sedari tadi Ami hanya memasang wajah juteknya.
Ami diam, ia enggan untuk menjawab.
"Anak Papa kenapa? Lagi kesal?" Kini Papa Wijaya ikut bertanya namun masih tidak dijawab oleh Ami.
Mama Marisa yang duduk di sofa kecil sebelah Ami langsung tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Ia sangat tahu kenapa Ami jadi bertingkah seperti itu.
"Dia lagi marah, Pa," jawab Mama Marisa sambil menatap Papa Wijaya. "Dia marah sama kamu tuh!" lanjutnya.
"Sama Papa?" tanya Papa Wijaya sambil menunjuk dirinya sendiri dan dijawab anggukan oleh Mama Marisa.
"Kenapa?" tanya Papa Wijaya. "Kenapa Ami marah sama Papa?"
Ami mendengus sebal. "Papa tuh gak peka banget, sih!"
"Peka gimana?" tanya Papa Wijaya masih belum mengerti juga.
"Tau ahh!" Ami langsung berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Rifa yang melihat tubuh Ami mulai menjauh langsung berpandangan dengan orang tua Ami. "Papa buat salah sama Ami, ya?" tanya Rifa.
Papa Wijaya menjawab dengan gelengan. "Nggak, Papa rasa Papa gak pernah buat salah sama Ami deh."
"Dasar para pria tidak peka!"
Mendengar Mama Marisa bicara seperti itu sontak membuat keduanya menoleh menatapnya seolah meminta penjelasan.
Mama Marisa menghela napas pelan sebelum mulai menjelaskan. "Ami marah karna kamu juga Rifa," jelas Mama Marisa.
"Aku?" tanya Rifa menunjuk dirinya sendiri.
Mama Marisa mengangguk. "Karna kalian berdua. Kenapa kalian nggak peka, sih. Ami itu pengen banyak ngobrol sama kamu, ya seperti orang biasa pacaran aja lah kayak gimana. Tapi, setiap kamu dateng ke sini, kamu malah lebih asyik ngobrol sama Papa. Sebenernya yang pacaran itu siapa, sih? Ami sama kamu atau kamu sama Papa, hmm?"
Keduanya langsung saling menatap lalu mengangguk-angguk pelan karena mulai mengerti akan perihal masalahnya.
"Jadi aku harus gimana, Ma?" tanya Rifa.
"Coba gih susul Ami ke kamarnya, ajak Ami ngomong. Kalo bisa, ajak Ami keluar juga biar gak suntuk. Asal jangan sampe kemaleman, ya." pinta Mama Marisa.
Rifa mengangguk dan langsung berjalan menaiki tangga menuju kamar Ami. Perlahan, ia mengetuk pintu kamar Ami, tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Rifa menghela napas pelan dan memberanikan diri langsung masuk ke kamar Ami. Saat baru memasuki kamar, ia langsung tercengang melihat sekelilingnya.
K-pop. Suasana di kamar Ami bernuansa K-pop. Dapat dilihat dari temboknya yang sengaja di cat dengan membentuk gambar seseorang. Byun Baekhyun, 06 Mei 1992. Ia membaca tulisan di bawah gambar itu. Rifa mengangguk-angguk pelan, namanya Byun Baekhyun, mungkin?
Tak lupa juga bagian tembok lain ia pajang foto foto yang bertuliskan Exo dan masing-masing membernya juga. Di meja belajarpun sama. Di bingkai yang di letakkan di meja belajar itu terdapat foto yang sama dengan gambar seseorang yang di lukis di tembok itu. Rifa pikir, bahkan di sini tak ada satupun foto Ami, semuanya tentang K-pop, tentang Exo.
Rifa langsung menghentikan aktifitasnya untuk melihat-lihat karena ia mulai mengingat tujuannya untuk masuk ke kamar Ami. Ia mendekati Ami yang tengah berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Perlahan Rifa duduk di pinggiran kasur itu. Ia mulai memegang lengan Ami dan mulai mengelusnya.
"Ami," panggilnya pelan namun tidak ada jawaban. "Kamu udah tidur?" Masih tetap tidak ada jawaban. "Kalo kamu tidur aku pulang, ya. Kan aku ke sini buat nemuin kamu." Masih tetap juga tidak ada jawaban.
Rifa menghela napas pelan dan bangkit dari duduk. Ia berjalan ke arah pintu yang masih membuka. Ia mulai memegang knop pintu untuk menutupnya. Ia menutupnya dari dalam. Ditegaskan, dari dalam. Bukan dari luar. Ia menutup pintu itu seolah-olah ia benar-benar sudah keluar dari dalam kamar Ami.
"Aku pulang, ya. Selamat malam."
Sontak Ami pun langsung membuka selimutnya dalam sekali hentakan. "Jangan--" Ucapannya terhenti karena ia menyadari kalau Rifa masih berdiri di dalam kamarnya. Tak lupa Rifa menunjukan senyum jahilnya.
"Jangan apa?" tanya Rifa sambil menahan senyumnya.
"Kamu ngerjain aku?"
"Ya habis kamu diam mulu aku ajak ngobrol juga."
"Aish." Ami mendecak sebal dan langsung memalingkan wajah.
"Jangan cemberut terus dong!" seru Rifa sambil menghampiri Ami. "Kita jalan-jalan keluar yuk, biar gak suntuk."
***
Ami sekarang tengah duduk di sebuah ayunan di taman komplek rumahnya, sementara Rifa tengah pergi untuk membeli minum di supermarket dekat taman itu. Ami menatap ke bawah sambil sesekali memainkan kakinya. Angin malam yang berembus sedikit menyibakkan rambut Ami yang sengaja ia geraikan. Saat masih asyik memainkan kakinya, Ami mendapati sepasang kaki yang tengah berdiri di hadapannya. Bukan, bukan Rifa, ini kaki seorang perempuan. Ami mendongak dan langsung terkejut setelah melihat siapa orang itu, Elsa.
"Ngapain lo di sini?" tanya Ami was was. Dan ya, jangan lupakan kalau Ami dan Elsa bertetangga.
Elsa tak menjawab. Elsa memang seperti itu, ia tak akan sudi menjawab pertanyaan Ami. Mungkin bagi Elsa, Ami itu musuh bebuyutannya. Dan Ami dapat memaklumi kenapa Elsa sebenci itu padanya. Jawabannya adalah, karena masa lalunya.
"Elsa, lo..." Ami menghentikan omongannya. Ia menelan ludah dengan kasar karena takut omongannya nanti akan menyinggung Elsa. "Lo... lo pulang ke rumah, biasanya kan--"