Jam pelajaran sudah berakhir, membuat seluruh siswa berhamburan meninggalkan kelas. Ami berjalan keluar kelas bersama dengan Rifa, Kiki, Bambam dan juga Helena.
"By the way, tadi Elsa kemana, ya? Gak biasa-biasanya dia bolos gitu. Secara dia kan murid teladan." Terdengar ucapan Helena yang memulai pembicaraan.
Semua menatap Helena dengan tatapan seolah tidak tahu.
"Benar juga." Kini Bambam yang ikut bicara. "Elsa gak akan bolos kayak gitu kalo bukan terjadi sesuatu yang menyangkut dirinya."
Mendengar ucapan Bambam langsung membuat Ami menghentian langkahnya. Jujur, saat ini ia merasa khawatir pada Elsa. Bagaimanapun juga, ia masih menganggap Elsa sahabatnya. Walaupun mungkin Elsa tidak.
"Kenapa Ami? Ada masalah?" tegur Helena yang berjalan di belakang bersama Ami.
Ia ikut menghentikan langkahnya karena melihat Ami berhenti.
Melihat Ami dan Helena yang menghentikan langkah mereka, otomatis ketiga pria yang berjalan di depan menoleh dan ikut berhenti juga.
Ami menggeleng pelan lalu kembali berjalan lagi. Rifa tahu Ami pasti saat ini tengah memikirkan ucapan Bambam tadi karena ia sendiri yang mengetahui tentang masalah yang ahh... benar-benar rumit antara Ami dan Elsa. Rifa pun langsung berjalan di samping Ami dan menyuruh Helena untuk menggantikan posisinya.
"Kenapa?" tanya Rifa lembut sambil merangkul bahu Ami.
Ami menggeleng lagi. "Nggak papa."
"Kamu pasti mikirin omongan Bambam barusan, kan?" tanya Rifa yang membuat Ami langsung menoleh menatapnya.
"Kamu bisa baca pikiran orang lain?" tanya Ami yang membuat Rifa langsung terkekeh pelan.
"Nggak, raut wajahmu sendiri yang menunjukkannya. Menunjukkan kecemasan, makanya aku tau."
Mendengar penuturan Rifa, Ami jadi langsung tersenyum tipis. "Ekspresiku gampang ditebak ternyata."
Rifa tersenyum. "Gak usah dipikirin tentang omongan Bambam tadi. Aku yakin Elsa baik-baik aja."
"Tapi aku takut, Rif," cemas Ami. "Sejak tadi pagi aku merasa sangat gelisah, apa ini juga ada hubungannya sama Elsa?"
"Itu hanya--"
"Sebentar," sela Ami karena ia merasakan ponsel-nya bergetar dari balik saku bajunya. "Papa menelpon, aku angkat dulu."
Rifa mengangguk mengiyakan, lalu Ami langsung mengangkat panggilan itu.
"Hallo, Pa."
"Ami, bisa kamu ke rumah sakit sekarang?"
Ami menoleh menatap Rifa. "Rumah sakit, Pa? Kenapa?"
"Mamamu kecelakaan, Nak."
Degh!
Jantung Ami seakan berhenti berdetak, napasnya benar-benar tercekat. Apa? Mamanya? Mamanya kecelakaan? Kenapa? Apa yang terjadi?
"Papa akan kirim lewat pesan alamat rumah sakitnya. Kamu cepet ke sana, ya. Papa mungkin terlambat ke sana karena terjebak macet."
Setelah mengucapkan itu, Papanya memutuskan sambungan telepon. Ami sudah sempoyongan kalau saja badannya tidak ditahan oleh Rifa.
"Kenapa, Ami? Apa yang terjadi?"
Rifa berbicara dengan sedikit keras, membuat ketiga temannya yang berjalan di depan menoleh. Mereka langsung berjalan ke posisi Ami dan Rifa karena tadi mereka sudah sedikit jauh dengan mereka.
"Ada apa, Rif? Apa yang terjadi?" tanya Kiki.
"Ami. Lo baik-baik aja, kan? Kenapa?" tanya Helena tak kalah cemas.
"Ami, kenapa lemas gitu? Mau makan?" Pertanyaan Bambam yang konyol sontak langsung dihadiahi jitakan di kepalanya oleh Helena.
"Bukan saatnya becanda, Bambam!" gerutu Helena kesal.
Air mata Ami kini sudah lolos dari pertahanannya. Ia menatap Rifa dengan sendu. "Mama," ucapnya lirih. Benar-benar lirih.
"Mama kenapa?" tanya Rifa dengan raut wajah bingung tidak mengerti.