Begins

Noura Publishing
Chapter #2

1

Ini tempat yang sangat bagus, dengan sewa yang sangat murah. Boleh dibilang gratis, karena harga yang diminta Bayu bahkan tidak sampai seperempat dari harga yang ditawar­kan pasar. Narendra tahu suami sahabatnya itu menyebut harga karena sejak awal dia mengatakan mencari apartemen untuk disewa. Bayu tampaknya mengerti jika menawarkan tempat itu secara gratis pasti akan ditolak Narendra.

“Kalau kamu emang enggak mau tinggal di rumah orangtua kamu, mending di sini aja sih.” Renata, istri Bayu yang sudah bersahabat dengannya bertahun-tahun, menepuk punggungnya. “Bayu lebih suka kami tinggal di rumah daripada apartemen. Da­ri­pada kosong juga, ‘kan?”

Narendra meringis. “Mama akan membunuhku kalau tahu aku enggak tinggal di rumah selama berada di Jakarta. Tapi, su­lit berkonsentrasi mengerjakan proyek kalau tinggal di rumah. Mama punya banyak cara untuk menjebakku supaya mau me­nemui anak-anak temannya. Dia enggak punya kegiatan lain setelah Ian menikah. Aku mangsa potensial berikutnya untuk proyek makcomblangnya.”

“Mama kamu pasti pengin kamu punya pasangan lokal.” Renata tertawa. Dia tahu persis mengenai keengganan Narendra melakukan kencan buta.“Kalau dapatnya bule, dia khawatir kamu enggak bakal sering pulang. Sekarang aja kamu jarang banget pulang. Terakhir kamu tinggal lama di rumah itu tahun lalu, ‘kan? Waktu dijemput paksa dari Suriah karena cedera.”

“Oh, ya, untuk Pulau Jawa, aku kayaknya pengin ngangkat Bromo. Jadi, aku bakal balik ke sana buat ngambil gambar.” Na­rendra tidak memperpanjang percakapan mengenai ibunya. Dia sengaja mengubah topik.

Renata tidak mengejar. “Bukannya kamu sudah ke sana beberapa kali? Kita malah pernah ke sana sama-sama. Enggak banyak yang berubah dari Bromo.”

“Aku enggak mau pakai foto lama untuk bukuku. Lagian, setiap kali ke Bromo, cuacanya enggak terlalu bagus. Mungkin nanti aku bisa lebih beruntung.”

“Hampir saja aku lupa,” Renata mengeluarkan kartu nama dari tasnya dan mengulurkan benda itu kepada Narendra. “Te­man jalan kamu. Hubungi aja dia di situ.”

Narendra meraih kartu itu. Dia langsung mengernyit. “Pe­rempuan?” komentarnya, bernada protes. Dia lebih suka mela­ku­kan perjalanan dengan sesama lelaki. Rasanya lebih praktis dan bebas drama.

“Memangnya kenapa kalau perempuan?” sergah Renata, cem­berut mendengar nada keberatan Narendra. “Aku perempuan, dan kamu nyaman-nyaman aja masuk hutan sama aku. Apa bedanya dengan dia?”

“Jelas aja aku nyaman sama kamu.” Narendra berdecak mendengar Renata membandingkan dirinya dengan orang lain. Dia tidak yakin ada perempuan lain yang sepraktis sahabatnya itu. “Kita kenal entah sejak kapan. Aku enggak ingat lagi saking lamanya. Dan, kamu bisa diandalkan dalam segala situasi dan skenario terburuk.”

“Kessa juga bisa diandalkan. Sebelum nyaman jadi pro­duser, dia wartawan paling diandalkan stasiun TV-nya untuk meliput daerah konflik atau pedalaman. Tempat yang laki-laki pun belum tentu mau ke sana. Kamu enggak bakal punya ma­salah dengan dia. Enggak semua perempuan Indonesia itu jerit-jerit waktu lihat ulat bulu. Dia tahu harus gimana kalau kalian kemalaman di hutan tanpa tenda. Aku yakin kamu ada di tangan yang tepat.”

“Aku bisa melakukan perjalanan ini sendiri,” gerutu Narendra. “Aku sudah terbisa jalan sendiri ke mana-mana. Kalau ada orang yang enggak perlu baby sitter untuk melakukan perjalanan, itu pasti aku. Apalagi kalau hanya di Indonesia. Skenario paling buruk itu cuma kemalaman di jalan. Aku enggak perlu khawatir dengan berondongan peluru kayak waktu kita terakhir ke Suriah.”

“Kalau ada teman yang bisa nemenin jalan, kenapa harus sendiri? Aku juga belum kenal baik dengan Kessa karena baru beberapa kali ketemu. Tapi, Tita bilang dia teman yang menye­nangkan. Aku percaya penilaiannya.”

“Masalahnya, sulit untuk memercayai penilaian kalian.” Narendra mengeluarkan dompet dan memasukkan kartu nama wanita bernama Makessa Putri Pratama itu. “Selera kalian dalam memilih suami sama-sama buruk.”

“Hei, enggak ada yang salah dengan Bayu,” protes Renata, tidak terima suaminya diberi komentar jelek. “Dia baik banget.”

“Iya, dia baik.” Narendra setuju dengan penilaian itu. Suami Renata tidak perlu dipertanyakan loyalitasnya kepada teman-teman­nya, termasuk teman istrinya. “Tapi, dia bukan orang yang bisa diandalkan untuk menyelamatkan kamu waktu masuk hutan. Dia bahkan enggak bisa membedakan mana jamur yang bisa dimakan dan mana yang beracun. Dia tipe orang yang paling mere­pot­kan kalau diajak masuk hutan.”

Renata mencibir. “Aku bisa membedakan jamur beracun dan yang aman untuk dimakan. Aku enggak butuh Bayu un­tuk itu. Dia bisa melakukan banyak hal lain dengan baik.”

Lihat selengkapnya