Waktu pertemuan yang Narendra sepakati dengan Kessa, orang yang akan menjadi teman seperjalanannya, sebenarnya masih setengah jam lagi. Dia sengaja datang lebih awal karena takut terjebak lalu lintas Jakarta yang tidak bersahabat. Dia tidak suka terlambat dalam pertemuan apa pun. Narendra termasuk orang yang lebih suka menunggu daripada membuat orang menunggu.
Kemarin, dia menghubungi Kessa melalui nomor yang tertera di kartu nama pemberian Renata. Mereka perlu bertemu untuk membahas rute perjalanan. Semoga saja wanita yang akan ditemuinya ini setipe dengan Renata dan Tita karena sulit membayangkan melakukan perjalanan dengan wanita metropolis yang terbiasa dengan heels dan jenis pakaian yang dipenuhi manik dan glitter di sana sini.
Setelah mendorong cangkir kopinya menjauh, Narendra mengeluarkan MacBook dan lantas tenggelam dalam kumpulan foto yang pernah diambilnya. Dia harus memilih yang terbaik dari setiap tempat untuk dimasukkan ke bukunya. Itu bagian yang sulit karena semua sama bagusnya.
Itu foto-foto yang dia ambil di Kalimantan dan Sumatra. Narendra sudah menyelesaikan bagian yang itu. Dia memilih Pulau Derawan sebagai fokusnya di Kalimantan, selain permukiman suku Dayak Dalam. Sedangkan Sumatra diwakili oleh Pulau Weh sebagai bagian paling barat Indonesia. Samosir, Nias, Bangka, dan Way Kambas juga masuk ke daftar untuk bukunya.
Jari Narendra berhenti sejenak saat melihat foto Gunung Anak Krakatau. Saat foto itu diambil, gunung itu tampak tenang. Kawahnya memang terus mengepulkan asap, tetapi belum menunjukkan tanda-tanda akan memuntahkan lahar. Fenomena alam yang luar biasa indah, sekaligus mematikan.
Dering ponsel membuat Narendra melepas pandang dari layar MacBook. Kessa. “Halo?” Mungkin calon teman perjalanannya itu sudah hampir sampai.
“Oh, hai, saya sudah lihat Mas.” Telepon ditutup.
Narenda melirik layar ponselnya sebelum menoleh ke arah pintu masuk. Seorang wanita semampai tersenyum dan melambai ke arahnya seolah mereka sudah kenal lama. Meskipun ragu, Narendra membalas senyumnya.
Kessa berdiri di depan meja Narendra. Saat Renata dan Tita bercerita tentang Narendra, mereka jelas melewatkan bagian fisik laki-laki ini. Kessa nyaris memukul dahi menyadari apa yang melintas di benaknya. Perpisahan dengan Jayaz jelas memengaruhi kesehatan mentalnya karena tidak biasanya dia peduli terhadap penampilan fisik seseorang. Dalam beberapa hari ini, Kessa menyadari bahwa dia memelototi hampir semua laki-laki menarik yang ditemuinya. Jika Jayaz bisa tertarik kepada wanita lain saat mereka masih berhubungan, mengapa Kessa harus menahan diri untuk memulai hubungan yang baru dengan siapa pun yang kelihatan menarik? Mungkin saja setelah berkenalan, dia bisa menemukan pendar, debar, atau apa pun namanya, seperti yang Jayaz temukan pada perempuan itu, ‘kan? Sayangnya, Kessa tahu dirinya tidak akan menjalin hubungan dengan orang yang baru ditemuinya, betapa pun putus asanya dia untuk move on.
“Maaf, saya terlambat.” Kessa menggeleng untuk mengusir pikiran isengnya. Fokus. Ini bukan saat yang tepat untuk berburu calon pengganti Jayaz.
“Kamu enggak terlambat, saya memang datang lebih cepat.” Narendra menggeser kursi dan berdiri. Dia mengulurkan tangan. “Narendra. Atau Naren saja.”
“Makessa. Kessa.” Kessa membalas genggaman yang erat itu. Pria di depannya ini jelas memiliki kepercayaan diri yang besar. Hal itu bahkan bisa terdeteksi dari genggamannya. Genggaman yang tampak cocok untuk ukuran tubuhnya yang tinggi, tegap, berkulit cokelat, dan tampang yang menarik. Jenis pria yang akan dengan mudah mendapatkan perhatian perempuan mana pun. Astaga, Kessa lagi-lagi menggeleng. Fokus …, fokus. Jayaz keparat!
“Silakan duduk.” Narendra melepas pandang dari wajah Kessa setelah mengamati beberapa saat. Tidak ada make-up berat. Itu melegakan. Sulit membayangkan masuk hutan dengan seseorang yang harus mengukir alis terlebih dulu untuk membuat monyet atau biawak yang mungkin mereka temui terkesan. Matanya memindai kaki Kessa. Jins dan sneakers yang sudah tidak terlalu baru. Wanita ini lolos dalam uji penampilan.
“Terima kasih.” Kessa duduk setelah meletakkan tasnya di salah satu kursi kosong. “Mas Narendra—”
“Naren,” potong Narendra. “Bagian ‘Mas’-nya di-skip saja. Dan, saya akan manggil kamu Kessa. Kita akan menghabiskan waktu bersama cukup lama, jadi bagian sopan santun dalam sapaan sebaiknya dilewatkan. Gimana?”
Kelebihan lain. Pria yang tidak suka basa-basi dan tahu apa yang dia inginkan. Tegas. Dalam pengamatan sesaat, Jayaz jelas kalah pada bagian ini. Hentikan! Kessa menghardik diri sendiri. Ya Tuhan, kenapa untuk fokus saja bisa sesulit ini? “Setuju.”
“Mau minum apa?” tanya Narendra yang masih berdiri. “Biar saya pesenin.”
Kessa mengibaskan tangan. “Nanti saya pesan sendiri. Kita bahas soal rute dulu. Sebenarnya, saya udah nanya ke Rena dan Tita, sih, tapi katanya nanti biar dibahas sama kamu saja.” Kessa meringis canggung. “Ehm, pakai ‘kamu’ enggak apa-apa?”
“Saya lebih suka ‘kamu’ daripada ‘Anda’ atau ‘Mas’, sih. Saya udah bilang tadi.”
“Oke.” Kessa merasa jauh rileks sekarang. Calon teman seperjalanannya sejauh ini tampak menyenangkan. “Jadi, kita akan mulai dari mana?”