Behind The Glasses

Dyah Ayu Anggara
Chapter #1

Perkara Cotton Candy

"PAGI, RERE!!" seorang remaja laki-laki dengan rambut berwarna merah muda yang tampak belum ditata itu tersenyum sangat lebar seiring langkahnya yang semakin mendekat dengan sahabat perempuannya.

"Aduh! Pengang kuping gue, tahu nggak?!" ketus Regina, yang tentu saja bercanda, terlihat dari kedua sudut bibirnya yang tertarik sedikit ke atas. Kenzie, cowok yang meneriaki namanya pagi-pagi itu sudah berdiri di samping dan mengapit lengannya. "Pagi-pagi aja udah gerah begini, apalagi nanti kalau udah siang!" keluh Kenzie sembari mengipasi wajahnya yang sedikit berpeluh di bagian pelipis. Keheningan menyambut ucapan Kenzie ketika mereka berjalan beriringan melewati gerbang sekolah. Saat menoleh ke samping, Kenzie langsung bertatapan dengan sorot mata Regina yang penuh arti.

"Kenapa, re?" tanya Kenzie. Regina menggeleng singkat kemudian berdeham gugup lantaran kepergok sedang melamunkan cowok di sampingnya itu. Kenzie yang melihat reaksi Regina hanya mengulum senyum diam-diam.

"Tahan aja lah, baby Kenz, toh nanti kita berenang saat jam pelajaran olahraga." Regina menyahuti keluhan sang sahabat setelah mengusap cepat keringat di bagian atas bibirnya. "Target gue mau turun berat badan lima kilo nih!" ucapan Regina langsung disambut decihan dari bibir ceri Kenzie, "mau jadi apa sih lo? Lidi?" cecar Kenzie, nggak habis pikir. Baru saja Kenzie ingin membalas keinginan Regina dengan keinginannya saat pelajaran renang nanti. Memiliki bahu lebar supaya terlihat manly, kalau saja kedatangan sahabat lainnya tidak memisahkan kaitan lengannya dengan Regina.

Maximilian Archery, biasa dipanggil Maxime, cowok yang baru saja menyeruak di antara Kenzie dan Regina itu kini merangkul kedua lengan sahabatnya. Kening Kenzie mengkerut dalam kala melihat sweater tebal berwarna navy yang menempel di tubuh Maxime, belum lagi kemeja seragam dan pakaian dalamnya. "Lo nggak gerah, max?" celetuk Kenzie. "Lo nggak takut, kenz?" sahut Maxime, nggak mau kalah tanpa melirik sahabat cowoknya yang lebih pendek tujuh senti darinya itu. "takut kenapa?" tanya Kenzie walau sebenarnya dia tahu arah pembicaraan Maxime apalagi saat cowok itu menatapnya dari bawah sampai atas beberapa detik yang lalu. "pakai softlens, rambut di cat kayak cotton candy, apa-apaan lagi tuh bibir udah kayak habis makan orok gitu!"

"Eits! Sembarangan! Bibir gue ini warna strawberry! bukan merah darah kayak emak-emak! Lagian ribet ah, kemana-mana bawa kotak kacamata sama kain lap nya, belum lagi kalau kotor, harus disemprot-semprot ..." belum sempat Kenzie selesai menyerocos lebih panjang lagi, Regina sudah menyelanya "lo nggak sependiam dulu waktu taman kanak-kanak," komentar Regina mengundang gelak tawa keras dari Kenzie.

"HAHAHAHA! Seseorang bisa berubah karena banyak hal."

Maxime mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Kenzie, "nggak heran sih gue, kita nggak pernah lihat lo keluar rumah sejak SD dan SMP, lo kayak hilang ditelan bumi!"

"stop complaining me! Heh, jawab, ngapain lo pakai sweater setebal ini? nggak ada semilir angin ataupun gerimis sekarang."

Maxime langsung melepas rangkulan kedua tangannya pada Kenzie dan Regina tepat setelah Kenzie bertanya. "Gue masuk kelas duluan ya! belum kerjain PR sosiologi!"

"Tinggal mengarang indah! Ribet!" teriak Kenzie pada Maxime yang sudah berlari menaiki tangga menuju kelas mereka di lantai tiga sedangkan Kenzie dan Regina masih tertinggal di lantai dua. "Gue mau rapat OSIS dulu ya," Regina mengacak rambut Kenzie dan langsung membelok masuk ke ruangan yang baru akan mereka lewati. "Cih, nggak seru!!" Kenzie menghentakkan kakinya ke lantai sekolah dengan kesal sebelum kembali berjalan dengan langkah lebar dan tergesa.

***

Tujuannya adalah perpustakaan. Walaupun terlihat urakan dengan kemeja sekolah yang dikeluarkan dan celana bahan abu-abu yang di atas mata kaki, percayalah, semua itu hanya kebohongan. Kalau Kenzie boleh jujur, cowok itu juga sangat khawatir akan dipanggil ke ruang konseling perihal warna rambut dan softlens nya. Mengingat tahun lalu di kelas sepuluh ia menjadi murid langganan oleh guru BK karena sering bolos pelajaran dan tidur di kelas walaupun nilai ulangannya selalu di atas angka sembilan puluh. Tapi nilai tidak akan ada gunanya tanpa etika yang baik, begitulah nasihat guru BK padanya.

"Dasar orang-orang sok tahu!" geram Kenzie rendah sembari mengambil buku-buku tentang perbedaan Stratifikasi dan Diferensiasi serta status kelas sosial di masyarakat. Jika kalian mengira Kenzie akan mengerjakan PR seperti Maxime, kalian salah. PR itu sudah diberikan seminggu yang lalu dan langsung dikerjakan oleh Kenzie sehari setelahnya. Kenzie hanya ingin mengulang materi yang sebenarnya sudah sebagian ia pahami itu, karena firasatnya sang guru sosiologi akan memberikan quiz tertulis pada mereka hari ini. Terkadang Kenzie berterima kasih pada guru-guru yang memberikan quiz dan ulangan harian mendadak. Murid-murid jadi lebih rajin untuk membaca. Well, even it depends.

Lihat selengkapnya