"Selamat siang semuanya, mohon waktunya sebentar, kami membawa kabar duka dari ruang guru atas kembalinya Bu Susi ke sisi Tuhan Yang Maha Esa ... "
Tampak Anissa Salsabilla atau biasa dipanggil Icha, murid kelas sebelah, tengah memegang kotak sedang di kedua tangannya. Raut wajah Icha tampak mengeras seolah memikirkan sesuatu, namun ekspresi itu sirna saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Kenzie. "Silahkan bagi yang ingin berdana untuk memberikan bantuan secara ikhlas bagi beliau," lanjut Adel lalu mengangguk singkat kepada Icha, isyarat agar temannya itu berkeliling di setiap baris kursi di kelas itu.
Tangan Kenzie yang masih menggenggam selembar uang tunai sepuluh ribu mengambang di udara menanti jawaban Icha. "lo melihatnya kan, gue juga melihatnya, kita berdua melihatnya ...!" Kenzie mendesis tajam sebelum mendesah kaget saat Icha menyambar uangnya dan melemparnya begitu saja ke dalam kotak. Selepas kepergian Adel dan Icha, pikiran Kenzie terus berkecambuk dengan sosok seseorang yang terakhir kali dilihatnya berduaan dengan Bu Susi. Apa yang dilihatnya waktu itu aneh. Bahkan, sangat aneh. Kenzie tidak akan terkejut lagi dengan hubungan ... 'ah, pusing!' keluh Kenzie dalam hati seraya menjambak kasar rambutnya. Maxime yang duduk di sampingnya sampai mengernyit heran di tengah-tengah kegiatan mencatatnya.
"Kenapa lo?" menghiraukan pertanyaan sahabatnya, Kenzie berdiri sembari mengacungkan tangannya, "Bu, saya izin ke toilet ya" baru lima langkah Kenzie menjauh dari meja nya sang guru menatapnya marah dan membentak kasar "Untuk apa sekolah kasih waktu istirahat 2 jam kalau kamu masih nyolong jam pelajaran biar bisa bolos!"
Regina yang duduk dua meja di depan meja Maxime menoleh sedikit ke Kenzie yang kebetulan masih mematung di samping mejanya. Kenzie bisa melihat Regina menggeleng kaku, peringatan agar ia tidak menyalak seperti sebelumnya. Tetapi ini Kenzie yang 'baru'. Meskipun suara hatinya bergemuruh dan wajahnya tampak gugup, dengan cepat kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Maaf yang sebesar-besarnya ya bu," seluruh perhatian murid-murid di kelas terarah pada Kenzie yang membungkuk sebesar 90 derajat sebanyak tiga kali, "Sayangnya selama dua jam tadi saya tidak mau pipis, bu! saya ingin pipisnya sekarang, karena...!" Kenzie menarik napas panjang berharap buku yang sedang dipegang gurunya tidak mengarah ke kepalanya "...saya tidak ingin mengeluarkan air-dari-barang-saya-di-bawah-sana! Jadi, tolong ya bu, saya udah kebelet! Permisi!"
"Kenzie!!" cecar guru matematika dengan kacamata kudanya itu. Bukunya terlempar ke arah Kenzie tapi anak laki-laki itu lebih lincah dan berhasil kabur tanpa benjol di kepalanya. Beberapa murid terlihat menahan tawa di balik buku mereka, termasuk Maxime. Ada juga yang menatap khawatir guru mereka yang melotot murka, contohnya Regina.
"Apa yang kalian tertawakan, hah?! Jangan tertawa atau kalian dihukum sama seperti anak berandal yang tadi! Paham?!"
Serentak murid-murid langsung bungkam dan menjawab serempak. Regina dan Maxime saling bertukar pandang sebelum kembali memandang buku catatan mereka seraya membuang napas lelah dengan kelakuan Kenzie.
***
Apa kalian pikir Kenzie akan benar-benar pergi ke toilet untuk mengurus urusan kecil? Oh, tentu saja tidak. Siswa dengan kaos kaki beda warna di kedua kakinya itu berjalan mantap menuju lantai tiga. Sebelum kedua kakinya berhenti di depan ruang lab komputer. Karena dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat jelas seseorang yang masih tidakia percayai menjadi salah satu tersangka atas pembunuhan sadis mantan wali kelasnya.
Orang itu tampak duduk di kursinya. Kedua matanya memang tertuju pada papan tulis, namun pandangannya kosong. Bibirnya terus berkomat-kamit tidak jelas. Kedua tangannya pun tidak bisa diam. Sekali lagi, Kenzie masih belum percaya dengan gosip yang beredar tentang penyebab pembunuhan ...