Behind The Glasses

Dyah Ayu Anggara
Chapter #4

Kambing Hitam

Kenzie menobatkan Hari Batik Nasional sebagai hari kesukaannya. Karena mereka pergi ke sekolah hanya untuk membaca bersama, kegiatan agama masing-masing, dan acara pensi. Pagi-pagi sekali Kenzie datang ke kelas sebelah. XII IPA 1. Kelas Adel dan Icha. Pagi ini setelah setiap group chat kelas di Whatsapp mendapat foto-foto pemakaman Bu Susi, Adel bilang ia butuh Kenzie dan Icha untuk menjawab keingintahuannya. Evi bilang jangan mulai interogasi sebelum ia datang.

“Kenken!”

Kenzie yang baru saja menginjak ambang pintu kelas Adel terlonjak dan menoleh ke belakang. “Vivi!” balasnya lalu menyambut pelukan bersahabat dari Evi. Pulang sekolah kemarin Evi yang seorang fans fanatik K-pop senang bukan kepalang saat Kenzie bercerita tentang album terbaru dari girlband asal negara ginseng yang sudah go international itu. Jadilah keduanya sudah seperti kakak beradik yang sudah lama terpisah dan kembali lagi. Keduanya pun memutuskan melanjutkan obrolan mereka di dalam dimana Adel sedang bicara penuh keseriusan dengan Icha yang menyahutinya kelewat santai.

“Oke, sekarang giliran Kenzie!” Adel mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Kenzie yang baru saja duduk di kursi barisan sebelahnya. Evi berdecak kesal karena pembicaraan outfits Blackpink di ‘Lovesick Girls’ terputus oleh kegigihan Adel dalam memecahkan kasus Bu Susi. Kenzie melempar pandangan menghibur pada Evi sebelum mengangguk tegas pada Adel, “lo mau tanya soal apa?”

“Apa yang lo lihat waktu melewati kelas ini?”

Kenzie reflek menjawab cepat dan frontal sampai Evi terlonjak dari duduknya, “Ben menjilat tangan Bu Susi di sana!” jari telunjuknya mengarah pada meja guru. Adel melirik Icha yang mengangguk singkat dan menimpali jawaban Kenzie, “Benedict dan Bu Susi duduk berhadapan.”

“Bisa jelaskan lebih spesifik apa yang lo lihat saat itu?” tanya Adel, lagi. Wajah Kenzie tampak mengeruh dan ia sempat mengusap lengannya risih bila disuruh mengingat lebih detail bagaimana Benedict menjilat tangan Bu Susi.

“Apa Ben terlihat menjilat dengan … pandangan atau senyum sensual? You know, like pervert?” pertanyaan itu sedikit mengagetkan Kenzie dan ia langsung menggeleng seraya berkata pelan, “Teman lo itu … kayak melamun sebentar dulu, sambil lihat ke arah tangan Bu Susi, tiba-tiba ia langsung jilat dan Icha muncul dari belakang punggung gue”.

“Langusng dijilat aja gitu?” suara Evi terdengar sangat penasaran setelah terperangah beberapa detik. “Iya, vi” jawab Kenzie, yakin. “Bagaimana reaksi beliau?” Adel sedikit memelankan suaranya supaya dua siswa yang baru saja datang dan duduk di depan mereka tidak mendengar. “Beliau senyum gitu, kayaknya … mereka pacaran” ucap Kenzie meski tidak terdengar yakin ketika mengatakan frasa terakhir. “Si Benben nggak ngomong apa pun? Kayak godain Bu Susi git---“

“Ehem!” Icha berdeham sambil mengedipkan matanya tiga kali ke arah pintu kelas. Evi memutar kepalanya sebesar 45 derajat sebelum akhirnya memandang lurus lagi dengan wajah salah tingkah. Benedict baru saja memasuki kelas dengan kedua tangan memegangi kedua tali ranselnya dan kedua mata yang selalu memandang awas sekelilingnya.

“Pagi, Ben!” sapa Evi riang. Yang disapa terlihat kaget namun sedetik kemudia ia tersenyum malu-malu sebelum menjawab ceria, “Pagi juga!”. Ketiga siswi itu langsung saling berdikusi untuk membicarakan dimana tempat yang sekiranya bisa dipakai untuk keamanan ‘rapat’ mereka. Sedangkan Kenzie belum bisa melepas tatapan penuh selidiknya pada Benedict yang sekarang duduk dua kursi di belakangnya. Benedict menangkap tatapan Kenzie lantas melambaikan sebelah tangannya sambil tersenyum pepsodent. Kenzie berdecih lantas membuang wajah tanpa berniat membalas sapaan cowok itu. ‘Kayak lihat masa lalu’ batin Kenzie murung.

Lihat selengkapnya