Behind The Mask

Retchaan
Chapter #1

BTM ~ 1

Ini hanyalah fiksi semata, apabila ada kesamaan tokoh, waktu dan tempat itu hanya kesengajaan tidak ada maksud tertentu.

______________

Prolog

Hujan mengguyur halaman sekolah dengan derasnya. Petir sesekali menyambar langit yang kelabu, memekakkan telinga. Genta berdiri kaku di tengah lapangan, bajunya basah kuyup, rambutnya menempel di dahinya. Matanya terpaku pada tubuh sahabatnya—Kenneth—yang tergeletak tak bernyawa di tanah. Darah mengalir dari kepalanya, membentuk genangan merah pekat yang terbawa hujan, memudar bersama bau logam yang menyengat.

Jeritan siswa-siswi lain terdengar samar, seakan terhalang oleh gumpalan kabut di kepala Genta. Waktu seolah membeku. Ia tidak berteriak, tidak menangis. Ia hanya menatap ke atas—ke arah atap bangunan tempat Kenneth jatuh.

Di sana, seseorang berdiri. Siluetnya samar, tapi sorot matanya tajam menembus hujan dan waktu. Dan Genta tahu. Ia tahu itu bukan kecelakaan.

Beberapa jam setelahnya, kabar lain datang menghantamnya. Ibunya—wanita yang paling ia cintai—meninggal dalam kecelakaan mobil. Tabrakan tunggal, kata polisi. Rem blong, kata sopir. Tapi bagi Genta, tidak ada yang terasa wajar. Tidak setelah apa yang ia lihat hari itu.

Sejak saat itu, Genta berhenti menjadi anak biasa. Ia belajar membungkam amarah, menyembunyikan luka, dan memakai topeng. Dunia melihatnya sebagai putra pengusaha hebat, pewaris yang karismatik. Tapi di balik topeng itu, ia menyimpan satu tujuan. 

Menghancurkan mereka semua.

---

Malam ini Genta sedang berada di kediaman Krieger yaitu rumah tempat ia bertumbuh. Bayangan tubuhnya memanjang di ambang pintu, membelah lantai marmer seperti garis takdir yang baru saja digoreskan di atas nasib lama. Pintu berat itu berderit pelan ketika didorong, seolah enggan menyambut anak yang pulang bukan dengan kerinduan, melainkan dengan bara.

Ruangan itu luas dan mewah, tapi terasa dingin seperti ruang museum—indah, namun mati. Dinding kayu mahoni menyerap suara, dan langit-langit tinggi membuat setiap kata terdengar seperti gema kehampaan.

Di ujung ruangan, Elvaro Alarick Krieger duduk di kursi kulit berwarna arang. Rambut peraknya tersisir rapi, wajahnya seperti diukir dari batu—tak pernah berubah sejak kematian Jennyta.

“Panggil aku ke sini untuk apa?” suara Genta terdengar tenang, tapi penuh tepi tajam.

Elvano mengangkat wajah, pandangannya menembus seperti jarum es. “Aku sudah memutuskan. Kau akan menikah dengan putri Kaivan.”

Seketika, udara menjadi lebih berat. Genta tidak bergerak, hanya mengangkat satu alis, ekspresi setengah geli, setengah muak. “Ayah pikir aku akan mengangguk seperti boneka?”

Elvano meneguk wine-nya pelan, lalu meletakkannya tanpa suara. “Aku pikir kau cukup cerdas untuk tahu ini bukan tawaran. Ini perintah.”

Lihat selengkapnya