Behind The Mask

Retchaan
Chapter #2

BTM ~ 2

---

Pagi itu datang tanpa salam. Langit berwarna abu, seperti lembaran surat yang tak sempat ditulis. Matahari menggantung malu-malu di balik awan tebal, seolah ikut ragu pada keputusan yang akan diambil dua manusia di ujung takdir yang telah diaturkan.

Genta melangkah masuk ke sebuah kafe tua di sudut kota—bangunan berlantai marmer klasik dengan dinding berlumut sejarah. Aroma kopi menyambutnya lebih kuat dari ucapan selamat pagi, menguar seperti kenangan yang menolak dilupakan.

Setiap langkahnya seperti gema di lorong waktu. Ia tidak datang untuk berbincang atau menikmati secangkir espresso. Ia datang untuk menakar batas antara kehendak dan paksaan—antara kehormatan dan permainan kotor bernama perjodohan.

Di pojok ruangan, duduk seorang wanita yang terlalu tenang... Marseille Andrea—atau seperti yang biasa dipanggil orang-orang terdekatnya, Eille. Bukan hanya wajahnya yang cantik tapi caranya menatap, seolah ia bisa membaca isi kepala orang tanpa perlu bertanya.

Senyumnya tipis, nyaris sinis.

“Genta?” sapanya. Suaranya lembut, tapi berbahaya—seperti mawar dengan duri yang disepuh madu.

Genta tidak langsung menjawab. Ia berdiri diam, tubuhnya kaku seperti batu nisan. “Kita ini cuma pion di papan catur ayah-ayah kita,” katanya akhirnya, nadanya dingin seperti pagi yang kehilangan hangat.

“Duduklah sebentar. Setidaknya, beri aku kesempatan untuk melihat wajahmu,” balas Eille, tatapannya tajam, senyumnya tetap menggantung.

Genta menghela napas, panjang dan berat. Tapi ia tetap berdiri. “Kalau kau hanya ingin liat wajahku, cari saja di internet. Tidak perlu repot mengundangku ke sini.”

Eille tidak tersinggung. Justru ia bersandar, menyilangkan kaki dengan keanggunan yang menyimpan bara. “Kau mau tidur denganku?” katanya dengan tenang.

Waktu berhenti. Suara mesin kopi di bar mendadak terdengar terlalu keras. Bahkan nafas pengunjung lain terasa mengganggu.

Genta menatapnya—tajam, gelap, dan sulit ditebak. Kafe seakan membeku dalam keheningan yang bukan milik pagi. “Karena jika kau tolak, lanjut Eille pelan, “Perjanjian antara ayahku dan ayahmu batal. Tapi jika kau terima... maka, kau memang pria rendahan.”

Diam.

Udara menjadi berat. Kata-katanya seperti kabut—tak terlihat tapi mencengkeram paru-paru.

Lalu, tawa pelan keluar dari mulut Genta. Bukan karena lucu, tapi karena keterlaluan. Ia melangkah mendekat, perlahan, seperti pemburu mendekati sasarannya. Kini wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Napas mereka nyaris bertabrakan di udara.

Tatapannya menusuk.

Lihat selengkapnya