---
Flashback on
Semasa sekolah, Genta tumbuh sebagai sosok yang sulit didekati. Namanya terlalu besar, sikapnya terlalu tenang, dan aura dinginnya membentengi dirinya dari interaksi yang tulus. Hingga Kenneth Gamaliel datang—anak dari supir keluarganya, yang dengan izin Elvaro, ayah Genta, mulai bersekolah di institusi elit yang sama.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menjadi dekat. Kenneth membawa kehangatan yang tidak dimiliki Genta canda yang sederhana, kejujuran tanpa tendensi. Mereka tertawa bersama, bolos kelas bersama, bahkan bertukar mimpi di bawah pohon besar belakang perpustakaan.
Tapi masa itu tidak bertahan lama.
Ryland Ignazio Milagro, putra pewaris keluarga saingan, selalu butuh mainan. Ia tak berani menyentuh Genta—terlalu berisiko, terlalu besar nama ayahnya. Tapi Kenneth? Hanya anak supir. Murah, mudah, dan tidak ada yang peduli.
Genta awalnya tidak menyadari. Kenneth selalu tampil ceria, menutup rapat luka-lukanya. Sampai suatu hari, ia melihat langsung—di belakang gedung sekolah, Kenneth didorong, ditelanjangi, dan dipukuli, tubuhnya gemetar di bawah tawa Ryland dan gerombolannya.
Genta tidak ragu. Ia masuk ke lingkaran itu, berdiri di depan Kenneth.
“Berhenti. Atau aku adukan kalian ke kepala sekolah.”
Ryland menyeringai, tapi akhirnya memerintahkan anak buahnya mundur. Sejak itu, Kenneth tak lagi diganggu—untuk sementara.
Beberapa minggu kemudian, Ryland datang ke kelas Genta. Tanpa bicara, ia menarik kerah seragam Genta dan menyeretnya ke tempat yang sama.
“Anak buangan dari ayah paling berkuasa,” cibirnya dengan tatapan tajam. “Kau pikir status bisa menyelamatkanmu di sini?”
Tanpa aba-aba, teman-teman Ryland mulai memukuli Genta. Ia jatuh tersungkur, darah mengalir dari hidung, wajahnya lebam.
Dalam samar pandangnya, Genta bergumam lirih, “Jadi seperti ini yang dirasakan Kenneth…”
Ia memaksakan diri berdiri, tubuhnya bergetar. “Kalau kau butuh mainan, aku saja. Tapi jangan sentuh Kenneth lagi.”
Tawa mereka meledak. Tapi Ryland hanya mengangguk dengan senyum sinis. “Oke. Deal.”
Sejak hari itu, Genta menjadi target baru mereka. Awalnya hanya suruhan kecil: belikan makanan, bawakan tas. Tapi perlahan, kekerasan meningkat—tendangan di lorong kosong, ancaman lewat pesan anonim, dan lebih buruk lagi, Kenneth kembali disakiti.
Suatu sore, mereka berdua diseret ke gedung kosong di pinggir sekolah. Udara dipenuhi asap rokok dan bau obat-obatan yang menyengat. Musik keras memantul di dinding yang lembab dan penuh coretan.
“Hallo, Gen,” sapa Ryland dengan senyum setengah mengejek.
Seseorang menyodorkan sesuatu ke arah Genta—bungkus kecil berisi serbuk putih.
“Mau coba?” tanya salah satu dari mereka, matanya merah, mulutnya terkekeh puas.