---
Sejak malam itu, Genta bukan lagi anak yang sama.
Dulu, ada cahaya lembut di matanya—pantulan hangat dari tangan ibunya yang selalu melindungi, dan tawa kecil Kenneth yang menjadikan hidup lebih ringan. Tapi cahaya itu telah padam. Digantikan gelap yang dalam, beku, dan tajam. Tatapan yang dahulu penuh kasih kini hanya menyimpan dingin, seperti malam yang lupa caranya menyambut pagi.
Ia nyaris tak berbicara. Bahkan kepada Elvaro, ayahnya, Genta hanya menanggapi dengan helaan napas atau sekilas pandang tanpa makna. Ia mulai menutup dirinya, perlahan tapi pasti, menjauh dari siapa pun yang mencoba masuk. Seolah dunia ini tak layak lagi dihuni oleh ikatan—karena setiap yang ia cintai selalu direnggut tanpa peringatan.
Sekolah menjadi rutinitas yang kosong. Nilainya tetap sempurna, tapi tak lagi penting. Ia datang seperti hantu, duduk, lalu menghilang. Tak satu pun yang benar-benar melihatnya.
Di rumah, kamar menjadi satu-satunya dunia yang ia percaya. Tirai jendela tertutup rapat, menciptakan ruang remang yang menyerupai pikirannya. Dinding menjadi teman bisu, menjadi saksi jatuh-bangunnya anak yang dikhianati oleh waktu. Ia sering duduk di sudut ruangan, lutut ditarik ke dada, dan pikiran terperangkap di antara kenangan dan teka-teki.
Pertanyaan itu terus berdetak di kepalanya: Apakah benar itu kecelakaan? Atau ada sesuatu yang jauh lebih jahat di baliknya?
Kadang-kadang, Genta diam-diam masuk ke kamar ibunya. Aroma mawar masih menggantung samar di udara. Ia berdiri diam selama berjam-jam, memandangi gaun-gaun yang tergantung, menyentuh bingkai foto, atau membaca potongan catatan yang ditinggalkan Jennyta. Setiap helai kain, setiap huruf, ia telusuri, seolah berharap menemukan jejak yang tertinggal.
Elvaro mulai resah. Anak lelakinya berubah menjadi sosok yang tidak ia kenali. Maka atas saran ahli, ia membawa Genta ke psikolog. Diagnosisnya singkat namun berat—trauma mendalam. Dan dengan itu, solusi yang ditawarkan terasa seperti mimpi buruk: terapi hipnosis, untuk menghapus luka yang terlalu dalam.
Genta setuju. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tidak ingin melupakan apa pun.
Lalu malam sebelum terapi dimulai, takdir membisikkan sesuatu.
Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan ayahnya di balik pintu ruang kerja.
“Pastikan semua penyelidikan dihentikan. Aku tak mau nama Jennyta muncul di berita lagi. Anggap saja... kecelakaan.”
Langkahnya membeku.
Suaranya tercekat.