Behind The Mask

Retchaan
Chapter #7

BTM ~ 7

---

Malam sebelum pernikahan, restoran mewah milik keluarga Kaivan berdiri megah dalam balutan cahaya lampu kristal dan aroma hidangan yang menggoda. Denting halus alat musik klasik mengalun dari sudut ruangan, berpadu dengan bisikan obrolan ringan yang berusaha menutupi kegugupan.

Elvaro dan Aysel telah lebih dahulu tiba, duduk berdampingan dengan keluarga Kaivan. Meski wajah mereka dihiasi senyum sopan, ada ketegangan samar yang mengendap di sela-sela kata. Sesekali, Elvaro melontarkan topik-topik netral, seolah hendak menghapus jarak yang, bagaimanapun, tetap membentang. Bukan jarak fisik melainkan jurang yang lahir dari sejarah, ambisi, dan kesepakatan-kesepakatan yang tak pernah benar-benar bersih.

Di antara tawa basa-basi dan gelas-gelas anggur yang disentuh setengah hati, Elvaro dan Kaivan bertukar pandang yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang paham politik keluarga. Ada persaingan lama di mata Elvaro, hasrat tersembunyi untuk akhirnya duduk sejajar, bahkan lebih tinggi dari Kaivan. Kesepakatan yang mereka buat—sebuah perjanjian tak tertulis demi pernikahan anak-anak mereka—berdiri di atas kepentingan, bukan cinta.

Genta memasuki ruangan, membelah ketegangan di udara. Dengan gestur dingin, Ia membungkuk sopan, matanya tenang tapi tak menyimpan kehangatan.

Percakapan pun kembali mengalir, membahas detail pernikahan—dekorasi, undangan, jamuan. Tapi kehadiran Genta seperti siluet kosong di tengah keramaian. Ia ada, namun jiwanya melayang jauh. Tatapannya menembus meja, menembus dinding restoran, menembus malam.

Eille yang sejak tadi diam, memberanikan diri menoleh. Senyumnya lembut, suara lirihnya menyentuh.

“Kamu mau undang teman-temanmu?”

Genta menatapnya sekilas—kosong. Pertanyaannya lewat seperti angin yang tak sempat menyentuh kulit. Baginya, pernikahan ini adalah bagian dari strategi, sebuah langkah dalam permainan yang disusun oleh Elvaro. Ia tahu, dirinya hanya bidak. Tapi Genta bukan pria yang membiarkan dirinya dimanipulasi tanpa perlawanan. Dalam diam, ia menyiapkan langkah balasan—pukulan balik yang akan mengguncang fondasi kekuasaan ayahnya.

Eille tak menyerah. “Kalau bulan madu... kamu pengin ke mana?” tanyanya lagi, dengan nada penuh harap yang menggantung.

Kali ini, Genta bahkan tak menoleh. Hanya tarikan napas pelan yang menjadi jawaban, lalu tatapan kosong yang kembali memandang jauh. Seolah semua ini, seluruh malam ini, hanya fragmen dari mimpi buruk yang belum usai.

Lihat selengkapnya