---
Setelah perjalanan sunyi yang terasa menyesakkan, Genta membelokkan mobil ke sebuah taman kota yang terkenal, tempat yang sering muncul dalam kartu pos dan kenangan masa kecil banyak orang. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan yang memantul di permukaan danau kecil, menciptakan ilusi tenang di tengah riak-riak air yang pelan.
Tanpa sepatah kata, Genta keluar dari mobil. Gerakannya kaku, seperti seseorang yang terjebak dalam keharusan. Eille sempat tertegun, lalu menyusul dengan langkah pelan. Jarak di antara mereka tetap tak tersentuh, seolah-olah udara malam sendiri enggan menyatukannya.
Mereka tiba di bangku kayu yang tampak tua namun terawat, terletak tepat di tepi danau. Mereka duduk berdampingan, namun seperti dua dunia yang tak bersinggungan. Keheningan membungkus mereka rapat—bukan karena nyaman, tapi karena ada terlalu banyak yang ingin dikatakan, namun tak tahu harus mulai dari mana.
Akhirnya, suara Genta pecah seperti retakan di permukaan kaca.
"Mau ngomong apa?"
Nada suaranya datar, namun cukup untuk menggetarkan udara yang beku di antara mereka.
Eille menatap pria di sampingnya. Ada ketegangan dalam matanya, seperti seseorang yang sedang mengukur dalamnya jurang yang harus ia lompati.
"Aku cuma ingin tahu," katanya pelan, "apa kamu benar-benar benci dijodohkan... atau kamu benci aku?"
Suaranya bergetar, tapi tetap teguh. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam erat.
Genta tidak langsung menjawab. Matanya kosong menatap danau. Saat akhirnya ia bicara, kata-katanya lebih tajam dari dinginnya udara malam.
"Apa bedanya?"
Kalimat itu menusuk seperti pisau tipis ke ulu hati. Namun Eille tetap diam, menelan pahit yang tak bisa dijelaskan.
"Aku jalanin ini karena harus, bukan karena mau," lanjut Genta, pandangannya masih terpaku ke air yang beriak pelan.