Behind The Mask

Retchaan
Chapter #10

BTM ~ 10

---

Sejak pertama kali menduduki kursi Wakil Direktur Chery&Bhit Corporate, Genta tidak membuang waktu. Di balik senyumnya yang tenang dalam rapat-rapat strategis dan foto-foto resmi perusahaan, ia menyusun langkah-langkahnya sendiri—bukan untuk ambisi pribadi, bukan untuk kekuasaan, dan jelas bukan demi validasi dari sang ayah. Ada satu hal yang lebih penting baginya—mewarisi dan menjaga karya ibunya, Jennyta Arsellyna, yang selama ini hilang dari sejarah keluarga.

Dengan bantuan Lysander Elgiowen, adik kandung sang ibu sekaligus seorang pakar hukum seni yang disegani, Genta menyusun rencana untuk memindahkan seluruh aset dan lukisan milik ibunya yang tersembunyi selama bertahun-tahun. Semuanya dilakukan diam-diam. Ayahnya bahkan tidak pernah tahu bahwa Jennyta masih melukis hingga akhir hayatnya—bahkan lebih dari itu, sang ayah mengira semua karya itu telah dijual atau dibakar bersama kenangan yang ingin ia kubur.

Pagi itu, langit Singapura tampak kelabu. Kabut tipis menggantung di antara gedung-gedung tinggi, seolah kota itu sendiri menahan napas, menjaga rahasia yang hendak dibuka. Usai menyelesaikan sarapan ringan di hotel—hanya seteguk kopi hitam dan sepotong croissant yang nyaris tak tersentuh, Genta meluncur menuju tempat yang hanya diketahui segelintir orang. Sebuah fasilitas penyimpanan pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, jauh dari jangkauan media dan mata-mata yang mungkin disewa oleh orang-orang dari masa lalu.

Lysander sudah menunggu di sana. Ia berdiri tegak, mengenakan jas abu-abu dan sepatu kulit mengilap. Rambutnya mulai memutih di sisi-sisi, tapi tatapannya tetap tajam. Bukan tajam karena curiga, tapi karena tahu betapa rapuhnya kenangan jika tidak dijaga.

“Sudah diverifikasi semua,” ujar Lysander, menyerahkan map berisi dokumen. “Lukisan-lukisan ini milik ibumu. Sah secara hukum. Dan yang paling penting… mereka selamat.”

Genta membuka satu map, menatap foto lukisan pertama yang didokumentasikan di sana—sebuah karya bergaya impresionis, menggambarkan langit senja dan siluet seorang wanita di tepi jendela. Ia tahu lukisan itu. Ibunya pernah melukisnya saat hujan deras turun di bulan Desember. Ia kecil saat itu, sedang demam, dan Jennyta melukis sambil mengelus kepalanya.

Tangannya mengepal pelan. Ada perih yang merayap dari dada hingga ke tenggorokan. Tapi bukan air mata yang keluar, melainkan tekad. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Genta merasa lebih dekat dengan sosok yang selama ini hanya hadir dalam ingatan dan bisikan mimpi. Jennyta Arsellyna belum benar-benar hilang. Ia hidup—di antara warna, bentuk, dan nyawa yang ia tinggalkan dalam karya-karyanya.

Lihat selengkapnya