---
Malam itu, ballroom hotel termegah di pusat kota Singapura menjelma menjadi panggung para elite. Lampu kristal menjuntai anggun dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer dan gaun-gaun berdesain haute couture. Para tokoh bisnis, pejabat pemerintahan, dan sosialita kelas atas berdatangan satu per satu, membawa senyum palsu dan ambisi yang dibungkus kerapihan.
Genta melangkah masuk ke ruangan dengan sikap tenang dan langkah mantap. Setelan jas hitam yang membalut tubuhnya sederhana tapi berkelas—tanpa ornamen berlebihan, hanya simbol keanggunan dan kekuatan diam-diam. Sorot matanya menyapu ruangan. Ia bukan sekadar hadir. Ia mengklaim tempatnya.
Acara itu diadakan atas nama yayasan yang kini berada di bawah pengaruh kuat ayahnya. Namun malam ini, Genta datang dengan tujuan sendiri—menghidupkan kembali warisan Jennyta Arsellyna dan membangun jalur kekuasaan dari puing-puing yang tersisa.
Saat ia tengah berbincang dengan seorang kolektor seni dari Prancis, sebuah suara lembut namun penuh wibawa menyapanya dari belakang.
"Hello, Mr. Genta Dawson Krieger."
Nada suaranya datar namun tajam, seolah mengiris pelan keheningan di sekeliling mereka. Genta spontan menoleh, alisnya terangkat sedikit saat mengenali siapa pemilik suara itu. Seketika, senyumnya merekah.
"Hei, bro," sahut Genta, menjabat tangan pria itu dengan erat sebelum menariknya ke dalam pelukan singkat yang hangat namun penuh gaya.
Ruel Naverez Aldrich—CEO muda dari Aldrich Consortium, sebuah konglomerat investasi internasional yang berbasis di London dan salah satu perusahaan furnitur terbesar di Los Angeles. Sosok kharismatik berdarah campuran Spanyol-Filipina itu dikenal luas di kalangan bisnis dan seni, bukan hanya karena pengaruhnya, tapi juga karena kemampuannya membaca peluang dalam sekejap.
“Sudah kuduga kau akan muncul di acara ini,” ucap Ruel sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan satu tangan. “Kabar tentang pameran ibumu sudah terdengar. Tak perlu waktu lama sebelum semua mata tertuju padamu.”
Genta menyeringai, lalu meneguk sedikit sampanye. “Bagus. Aku memang berniat membuat sedikit kebisingan. Dunia sudah terlalu lama melupakan nama Jennyta Arsellyna.”
Ruel tertawa kecil. “Kau selalu tahu kapan harus membuat gebrakan.”