Behind The Mask

Retchaan
Chapter #17

BTM ~ 17

---

Usai resepsi, ketika para tamu larut dalam foto, gelak tawa, dan iringan musik klasik yang mengambang di udara senja, Eille melirik Genta dari sisi meja saji. Senyumnya lembut, nyaris tulus, seakan melupakan beban perjodohan yang menggantung di antara mereka.

“Mau makan yang mana? Biar aku ambilkan,” katanya ringan, berusaha ramah, sambil menoleh ke pilihan hidangan.

Namun Genta hanya memandangnya singkat, lalu menunduk dan berkata dengan suara rendah, nyaris tenggelam di balik denting gelas dan bisik-bisik tamu, “Cukup kau duduk diam di sini. Itu saja sudah lebih baik daripada berpura-pura peduli.”

Senyum Eille perlahan pudar. “Berhenti bersikap seperti ini. Ini pernikahan kita.”

“Pernikahan kita?” Genta mengulang sambil menoleh perlahan, suaranya kering dan getir. “Bukankah ini cuma perjanjian dagang dua orang ayah? Atau... jangan-jangan kau memang salah satu pihak yang mendesaknya?”

Senyum pahit membentuk di sudut bibir Eille. Ia menyilangkan tangan di dadanya, duduk tegak. “Lucu. Justru aku yang lebih curiga padamu.”

Genta menatapnya, alisnya terangkat.

“Dengan temperamenmu yang setajam ini,” lanjut Eille, “kalau memang kau benci pernikahan ini, kenapa tidak kau tolak saja? Kau bukan tipe pria yang diam dan patuh. Tapi kau... justru mengangguk, berjalan ke altar, dan bahkan mencium keningku di depan ratusan mata. Kenapa?”

Pertanyaan itu menggantung, menggigit udara di antara mereka.

Eille menatap Genta, menunggu jawaban. Tapi pria itu hanya diam, menyesap minumannya pelan, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di kerongkongan.

"Aku benar, kan?" desak Eille, suaranya melembut tapi tetap tajam. 

Genta menurunkan gelasnya perlahan, lalu menatap langsung ke arah Eille. Pandangannya menusuk, tapi ada sesuatu yang tenggelam di balik sorot mata itu—semacam kehampaan yang tak terucap.

“Aku ikut permainan ini... karena aku tahu permainan ini busuk sejak awal,” katanya lirih. “Dan satu-satunya cara untuk menang, adalah tetap di dalamnya.”

Eille tertegun sejenak. “Kau bicara seolah kita pion.”

“Kita memang pion.” Genta mengangguk kecil. “Kau hanya lebih pandai menyamarkannya dengan senyum dan bunga di tangan.”

Lihat selengkapnya