---
Siang itu, Genta kembali ke kantor.
Tidak ada jeda, tidak ada ruang untuk merenung. Dunia terus bergerak, dan begitu pula tanggung jawab yang menumpuk di atas meja kerjanya.
Begitu memasuki ruang kerjanya, aroma kopi hangat dan udara pendingin menyambutnya. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Di atas meja besar bernuansa kayu gelap itu, bertumpuk beberapa map dengan label berwarna. Di dalamnya ada data calon sekretaris baru.
Sekretaris sebelumnya telah resmi mengundurkan diri beberapa minggu lalu, memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja demi menjadi ibu penuh waktu bagi bayi pertamanya. Genta menghargai keputusannya, meski ia tahu itu menciptakan kekosongan yang harus segera diisi.
Matanya menyapu lembar demi lembar, membaca latar belakang, pengalaman, dan catatan-catatan kecil yang ditulis tangan oleh Dipta.
Kini, ia harus mencari pengganti. Seseorang yang cukup cakap, cukup tangguh dan cukup sabar menghadapi dunia Genta yang kadang berjalan di antara batas legal dan bayangan.
Dipta sebenarnya bisa saja mengurus semuanya. Tapi Genta tahu, kalau dibiarkan, tangan kanan setianya itu bisa kolaps kapan saja.
"Kalau aku paksa dia terus, bisa-bisa Dipta mati berdiri," gumamnya sambil membuka map berikutnya. "Dan aku akan dihantui rasa bersalah seumur hidup."
Ia menyandarkan punggung di kursi, menatap langit-langit sebentar sebelum kembali menunduk.
“Sekretaris baru,” gumam Genta, matanya tak lepas dari berkas-berkas di meja. “Tapi bukan sembarang orang. Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya. Seseorang yang tahan terhadap tekanan…”
Tangannya bergerak perlahan, memilah satu per satu dengan sorot mata yang serius. Di dunia seperti miliknya, kesalahan memilih orang bukan hanya risiko—itu bisa jadi peluru.
Lalu ia terdiam sejenak, seperti ada nama yang melintas di benaknya. Tatapannya menajam.
Tepat saat itu, pintu kantor terbuka. Dipta masuk dengan langkah cepat, membawa sebuah map berwarna gelap.
“Berkas Claude sudah ada?” tanya Genta tanpa menoleh, seolah pikirannya lebih dulu sampai pada nama itu.
Dipta mengangguk dan menyerahkan map tersebut ke atas meja. Genta membukanya, membaca sekilas profil dan catatan pengalaman Claude. Ada keraguan samar di wajahnya, tapi juga ketertarikan.
“Dan?” tanyanya singkat, tanpa perlu penjelasan panjang.
Dipta paham maksudnya.
“Toko perhiasan yang disebut pria itu sudah kami temukan,” jawabnya cepat. “Tapi saat kami bertanya, kalung itu sudah dijual... kepada seorang wanita paruh baya.”