---
Genta berdiri di parkiran, udara malam menusuk kulit. Ia masuk ke dalam mobil hitamnya, menyimpan map ke laci seolah menyimpan beban yang lebih dari sekadar dokumen. Helaan napas panjang menyertai keheningan sebelum ia menyalakan mesin.
Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di depan klub eksklusif tempat pewaris kekuasaan bersandiwara dalam gelas kristal dan tawa kosong. Genta turun, langkahnya tenang. Malam ini bukan tentang hiburan. Ini panggung pertempuran diam-diam.
Tanpa banyak tanya, petugas membukakan pintu. Genta naik ke lantai atas, menembus musik dan keramaian yang baginya tak lebih dari latar kebisingan. Di ruangan pribadi, asap rokok dan aroma alkohol menyambutnya. Sofa kulit, gelas mahal, dan tawa hampa menyatu dalam kabut kemewahan palsu.
Di lantai atas, pintu kaca buram terbuka dan aroma alkohol langsung menyergap Genta. Asap rokok menggantung di udara, membentuk kabut kelabu di ruang penuh tawa palsu dan gelas kristal yang berkilau di tangan pewaris kekuasaan.
Sofa gelap dipenuhi pria berjas mahal dan wanita berdandan mewah, tertawa terlalu keras untuk sesuatu yang tidak lucu. Tawa yang tidak pernah menyentuh mata—kosong, seperti hidup mereka.
Genta berdiri di ambang pintu, menatap wajah-wajah yang dikenalnya sejak lama. Anak-anak dari bayangan uang, politik, dan jaringan gelap. Tempat ini tidak pernah berubah.
Salah satu dari mereka menyadari kehadirannya dan mengangkat gelas tinggi. “Genta,” serunya. “Akhirnya kau muncul juga.”
Tawa pecah kembali, tapi Genta tidak tertawa. Ia melangkah masuk dengan tenang, matanya menyapu ruangan, menilai, membaca… dan menahan jarak.
Ia tahu, tempat ini bukan sekadar ruang hiburan. Ini adalah panggung—dan tiap pemainnya punya topeng, pisau, dan rahasia yang tersembunyi.
Sofa kulit itu mungkin empuk, tapi Genta tetap duduk tegak. Punggungnya lurus, tangan bertumpu di lutut, seolah kenyamanan bukan sesuatu yang bisa ia percaya sepenuhnya. Matanya menyapu ruangan cepat sebelum berlabuh pada pria di seberangnya. Tubuh kurus dibalut jas hitam mengilap, rambut disisir ke belakang, dan senyum miring yang selalu tampak seperti sedang menyembunyikan pisau di balik tawa.
Samuel—teman lama yang tidak pernah benar-benar bisa disebut teman. Jenis orang yang lebih sering berada di ambang antara koneksi dan ancaman.
Genta menyilangkan kakinya pelan, lalu meraih gelas kristal di depannya. Ia meneguk sedikit minuman itu, tidak untuk menikmati, tapi sekadar membasahi lidahnya sebelum bicara. Sorot matanya tetap menusuk.
Samuel bersandar santai, satu lengannya terentang di punggung sofa. “Kau bertemu Ruel di acara amal kemarin?”
Genta tak langsung menjawab. Ia meletakkan gelas kembali ke meja, jari-jarinya mengetuk permukaannya sekali.
“Memangnya kenapa?” jawabnya akhirnya, suara rendah dan tenang, tapi terasa seperti gerinda yang baru saja menyentuh baja.
Samuel mengangkat alis, senyum kecil terbit di sudut bibirnya. “Dia jarang muncul, kecuali kalau sesuatu yang besar sedang bergerak.”
Genta menatapnya lurus. “Lalu kau berharap aku tanya apa yang sedang bergerak?”
“Tentu tidak,” jawab Samuel ringan. “Aku hanya ingin tahu… apakah namaku akan ikut bergeser di dalamnya.”
Genta membalas dengan senyum tipis tidak sampai ke mata. “Itu tergantung. Kalau kau berdiri terlalu dekat dengan masalahku, mungkin kau juga akan tergeser. Atau hilang.”
Keheningan sejenak menggantung di antara mereka. Di sekeliling, tawa palsu dan denting gelas terus mengalun, musik berdentum samar dari lantai bawah, namun ruangan itu seperti berdiri sendiri—terpisah dari dunia luar. Di antara Genta dan Samuel, tidak ada yang benar-benar santai. Hanya permainan diam, penuh siasat.
Samuel mengangkat gelasnya, senyum masih menggantung di bibirnya. “Aku tahu Ruel adalah teman baikmu, dan dia adalah musuhku. Tapi bukan berarti kau juga musuhku, kan?”
Nada suaranya ringan, tapi ada selapis waspada yang mencoba bersembunyi di balik canda.
Genta tidak langsung merespons. Ia menatap gelasnya sebentar, lalu mengangkat pandangannya pada Samuel dengan mata tajam, suara tenang tapi dingin seperti baja yang baru diasah.