---
Genta kembali melangkah masuk ke dalam apartemen, pandangannya langsung tertuju pada Claude yang masih duduk di lantai, tubuhnya sedikit membungkuk, air mata membendung di matanya.
“Bukan aku yang melakukan ini,” ucapnya pelan pada Claude.
Wanita itu mengangkat wajahnya, menatap Genta dengan sorot mata yang tak bisa ditebak—seperti tidak tahu harus percaya atau marah. Air matanya masih membendung di pelupuk matanya. Ia tidak berkata apa pun.
Genta menarik napas panjang. Ia berjongkok perlahan di hadapan Claude, menyamakan tinggi mata mereka. Pandangannya tak lepas dari wajah Claude.
“Jadi… di mana kalung itu?” tanyanya, hati-hati.
Air mata Claude akhirnya jatuh. Melihat itu, Genta mengangkat tangannya, hendak menghapus tetesan itu dari pipinya—namun Claude menepisnya dan berdiri tanpa berkata sepatah pun, diam-diam melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Genta diam, hanya memandang punggung Claude menjauh. Langkahnya lambat, tubuhnya sedikit goyah. Matanya sempat menyorot serpihan kaca di lantai.
“Hati-hati,” ucapnya, lembut.
Tak ada jawaban.
Genta berdiri dan memutar tubuhnya, menatap Dipta yang masih berdiri di dekat pintu.
“Bersihkan tempat ini,” katanya singkat, menunjuk kekacauan yang masih mengotori ruangan.
Beberapa menit berlalu. Suara langkah pelan terdengar kembali dari arah kamar. Ia berjalan mendekat sambil menggenggam sesuatu di tangannya. Tanpa sepatah kata, ia mengangkatnya dan memperlihatkan kalung itu.
Tatapan Genta langsung berubah. Ada kelegaan yang terpantul jelas di matanya.
“Ada apa dengan ini?” tanya Claude, suaranya rendah namun tajam.
“Kau tidak perlu tahu,” jawab Genta, mencoba mengambilnya. Tapi Claude segera menarik tangannya, menahan kalung itu.
“Aku harus tahu,” tekannya. “Karena benda ini... nyawaku hampir melayang.”
Genta terdiam sejenak. Matanya menatap tajam ke kalung itu, seolah mencari jawaban yang bahkan ia sendiri tak tahu.
“Aku juga belum tahu seluruhnya… Tapi yang pasti, kalung itu milik ibuku. Satu-satunya peninggalan darinya.”
Claude menunduk, mendengarkan. Tatapannya perlahan melunak. Lalu ia mengangkat wajahnya kembali.
“Kalau saja kau memberitahuku dari awal… mungkin semua ini tak akan terjadi.”
“Aku minta maaf,” ucap Genta, tulus. “Aku tak bermaksud menyeretmu ke dalam bahaya.”
Claude menarik napas panjang, hampir seperti mendengus. “Lalu… bagaimana aku harus membersihkan semua kekacauan ini?”