---
Mobil itu melaju cepat, membelah jalanan kota dengan desiran angin yang mengiringi amarah Genta. Ia duduk di kursi belakang, matanya menatap kosong ke depan, rahangnya mengeras. Setiap detik terasa menyesakkan hingga akhirnya mobil berhenti di depan gedung utama perusahaan. Gedung utama perusahaan itu berbeda dengan gedung kantor yang biasa ditempati Genta namun masih dalam lingkup yang sama.
Tanpa menunggu, Genta membuka pintu dan melangkah cepat menuju lift, tujuannya bukan ruang kerja biasa, melainkan lantai tertinggi—tempat sang Direktur Utama berkantor. Tempat yang baginya, terasa seperti singgasana dingin milik iblis.
Pintu lift terbuka. Setiap langkah seperti membawa bara. Ia mengabaikan tatapan para staf, hingga sampai di depan pintu besar berlapis kayu gelap. Asisten ayahnya yang duduk di depan langsung berdiri.
“Silakan masuk, Tuan Genta. Beliau sudah menunggu.”
Sudah menunggu? Tentu saja. Dia selalu tahu.
Begitu pintu terbuka, aroma ruang itu langsung menyergapnya—maskulin, dingin, dan mewah. Ruangan itu selalu terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Seperti jurang maut tempat suara tidak bisa kembali. Dan duduk di balik meja besar di ujung ruangan itu, Elvaro—ayahnya, direktur utama, pria yang pernah dikaguminya… kini hanya menyisakan pertanyaan yang tak terjawab.
“Aku tidak akan bertanya kenapa kau datang,” suara Elvaro terdengar tenang namun tajam, seperti bilah yang baru diasah.
Genta berdiri tegak, bibirnya menyunggingkan senyum pahit. "Karena kau sudah tahu, dan sengaja menunggu aku datang"
Elvaro tersenyum miring, seolah semua ini tak lebih dari permainan anak kecil. “Lukisan itu bukan milikmu.”
“Benar. Bukan milikku,” balas Genta. “Tapi itu milik Ibu. Dan kau bukan orang yang berhak memutuskan apa pun tentangnya.”
Elvaro tertawa pendek. “Pameran? Kau pikir itu penting?” Ia berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke arah jendela besar yang memperlihatkan panorama kota. “Sudah cukup banyak pameran untuk karyanya. Semasa hidupnya, dia sudah mendapatkan segalanya. Nama, reputasi, status dan dia bahkan melampauiku.”
“Karena ibu pantas mendapatkannya!” Genta melangkah maju, suaranya naik. “Dia menciptakan dari hati. Sementara kau? Hanya mengubah bisnis menjadi alat untuk menjatuhkan orang lain bahkan keluargamu sendiri.”
Elvaro membalikkan badan, matanya menyipit. “Hati?” gumamnya. “Hati tak pernah menyelamatkan siapa pun di dunia ini.”
Genta menatapnya dalam-dalam, suaranya nyaris bergetar. “Tapi justru karena itu, aku akan lindungi apa yang tersisa dari Ibu… Bahkan jika itu berarti harus melawan ayah sendiri.”