---
Saat ini, hatinya dipenuhi dengan amarah yang nyaris tidak tertampung. Genta menyandarkan punggung ke kursi, menutup mata sejenak sambil memijat sudut pelipisnya. Napasnya berat. Ia mencoba menenangkan badai yang mengamuk dalam pikirannya.
"Sewa pengacara. Segera. Aku ingin Paman keluar secepat mungkin," ucapnya dingin, tegas.
Dipta mengangguk tanpa bertanya lebih jauh.
Genta membuka mata. Pandangannya menatap lurus ke depan, kosong namun berapi-api. "Dan mungkin... dua minggu lagi, aku akan ke Paris. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam kalung ini."
"Baik, Pak. Saya akan persiapkan semuanya."
"Mulai lusa," lanjut Dipta. "Claude resmi menjadi sekretaris Anda."
Genta menoleh cepat, sedikit terkejut, namun langsung mengangguk mengerti.
"Ajari dia," sambung Genta, "apa yang perlu dan tidak perlu ia lakukan. Aku tidak ingin ada kesalahan di sekelilingku sekarang."
"Siap, Pak Genta. Akan saya urus."
---
Malam turun dengan derasnya hujan. Langit muram, angin menusuk, dan air menghantam kaca jendela seperti ingin menghapus sisa-sisa hari yang kacau. Genta memarkir mobilnya di depan apartemen. Ia turun tanpa payung, membiarkan tubuhnya basah kuyup. Wajahnya dingin, tak terganggu oleh dinginnya malam.
Begitu masuk ke lobi, ia mengatur napas, lalu naik ke atas. Pintu apartemen terbuka, dan seorang wanita menyambutnya dengan senyum hangat.
“Kau kehujanan,” ucapnya, hendak menyentuh kepala Genta. “Kenapa tidak bawa payung?”
Genta menepis tangannya pelan. Tatapannya tajam, hambar.
“Tidak usah peduli,” sahutnya dingin, sebelum mengusap rambutnya sendiri dan melangkah masuk, meninggalkan kehangatan yang tertolak.
Eille sempat terdiam, senyum tipisnya mulai luntur. “Aku sudah masak. Makan dulu.”
Genta tak menjawab. Ia berjalan ke dapur, mengambil gelas, lalu meneguk air hangat perlahan. Tatapannya tanpa sengaja jatuh ke tempat sampah—bungkus makanan instan mencuat jelas di sana, menghapus semua upaya menyamarkan kenyataan.
Alisnya terangkat dingin. “Masak, ya?” tanyanya, nada suaranya datar namun menohok.
Eille membuka mulut, mencoba menjelaskan. “Aku cuma ingin mem—”
“Sudahlah,” potong Genta, cepat dan tajam. “Makan saja sendiri. Aku ingin istirahat.”
Ia pergi, langkahnya mantap namun berat, meninggalkan Eille berdiri dalam diam dan terjebak dalam keheningan yang lebih menyakitkan dari kemarahan.
Eille tetap duduk di meja makan, sendoknya terhenti di udara—makanan di piring seakan tak lagi punya selera, hanya menyisakan keheningan pahit di antara mereka.
Genta keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah meneteskan sisa air hangat. Ia sudah berpakaian rapi, meski tubuhnya terasa berat, seolah hari itu belum juga selesai menindih pikirannya. Langkahnya membawa ia keluar dari kamar, melewati ruang makan yang kini sepi, lalu terus ke ruang tamu yang remang tanpa satu kata pun terlontar.