---
Sebelum melangkah pergi, tatapan Rianne jatuh pada Genta. Ada sedikit senyum di wajahnya, namun sorot matanya menelisik, seperti ibu mertua yang tengah menakar pria yang kini menjadi bagian keluarganya.
"Hari ini aku masakin makanan enak," ucapnya ramah. "Walaupun Eille tidak pandai memasak, jangan marah padanya ya."
Nada suaranya ringan, tapi terselip sesuatu di baliknya seolah ingin memastikan bahwa Genta tahu batas, atau mungkin ingin menunjukkan bahwa cinta bukan satu-satunya hal yang akan mengikat pernikahan ini.
Mendengar itu, Genta hanya mengangguk kecil. Ia tidak menanggapi dengan kata-kata, dan Rianne pun tak menunggu jawaban. Begitu ia kembali berbincang dengan Eille, langkah Genta perlahan menjauh. Sorot matanya tak lagi mengarah ke dua wanita itu, melainkan pada sosok lain yang sejak tadi duduk tenang di ruang tengah.
Seorang pria paruh baya yang berpenampilan rapi dengan setelan kasual, rambut sebagian telah memutih, dan aroma teh melati yang mengepul dari cangkir di tangannya.
Genta menghampiri, lalu duduk di sofa seberang, menyilangkan kaki tanpa tergesa. Udara di antara mereka sempat hening beberapa detik, sebelum Genta membuka percakapan, nadanya tenang tapi langsung menembus inti.
"Aku dengar Anda ikut berinvestasi pada proyek yang dikerjakan ayahku."
Tidak ada senyum. Hanya ketenangan yang mengandung ketegasan. Tatapannya lurus, seolah menantang untuk tidak berputar-putar.
Dan di sanalah permainan lain dimulai—bukan sekadar percakapan keluarga, tapi pertemuan antara dua pemain yang tahu betul apa itu kekuasaan dan kepentingan tersembunyi.
Suasana di ruang tengah yang semula terasa hangat berubah pelan-pelan. Seperti udara sebelum badai—tenang, namun sarat tekanan yang tak kasat mata.
"Pembangunan pabrik tekstil di Nepal?" Kaivan menatap balik, sejenak menyesap tehnya, seolah menyambut tantangan itu dengan kesabaran seorang veteran.
"Genta menyandarkan tubuh ke sofa, tapi sorot matanya tak bergeser. “Anda lebih tahu kalau itu bukan pembangunan biasa.”
Ada jeda. Sebuah keheningan yang seakan membentang luas antara dua garis api yang belum saling menyentuh.
Kaivan tersenyum samar—bukan senyum ramah, melainkan senyum seorang pria yang sudah terlalu sering bermain di tepi api, tahu kapan harus bertahan, tahu kapan harus membakar.
"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tanyanya, tenang, nyaris acuh, seperti sedang menilai apakah kata-kata Genta akan bernilai lebih dari sekadar angin lalu.
Genta tidak tersenyum. Tatapannya tajam, kalimatnya terukur.